Zaini pun mengungkapkan perbedaan mendasar antara permainan tradisional dengan modern yang kini merajai kebudayaan dan pendidikan anak. Menurutnya, permainan tradisional mengutamakan kebahagiaan pemain alih-alih soal menang atau kalah.
"Tetapi permainan modern itu sekarang lebih mengarah pada kemenangan, jadi dia harus menang dulu, harus juara dulu, baru mereka akan senang," kata Zaini.
"Tetapi kalau permainan tradisional itu dia senang dulu [baru menang atau kalah]. Ini yang membuat batasan permainan tradisional ini menjadi sangat unik," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Televisi dan Pergeseran Minat AnakBerdasarkan hasil penelitian Zaini, masa gemilang permainan tradisional adalah pada dekade '70 hingga '90-an. Saat itu, halaman di wilayah tempat tinggal masyarakat masih luas untuk digunakan untuk bermain.
Ditambah, lama waktu anak-anak bersekolah pun hanya sampai pukul 12 siang. Kebijakan ini membuat anak-anak memiliki banyak waktu sebelum matahari terbenam.
"Material permainannya pun masih banyak. Kemudian, saat itu juga baru ada satu saluran televisi TVRI yang baru mulai pukul 05.00 sore sehingga tidak ada kesempatan anak untuk menikmati tontonan dan mereka memilih mengeksplor keluar dan bermain permainan tradisional," kata Zaini.
Namun perkembangan zaman dan televisi mengubah pola bermain anak. Televisi swasta mulai berkembang memasuki dekade '90-an, menawarkan lebih banyak hiburan di dalam rumah. Anak-anak pun malas bermandikan terik matahari tropis.
Selain itu, lonjakan populasi membuat kebutuhan lahan untuk membangun rumah semakin besar. Akibatnya, lahan-lahan luas mulai diubah menjadi bangunan beton yang berujung menyempitnya arena bermain untuk anak.
"Saya merasakan tahun '90 atau '91 itu anak-anak sudah mulai bergeser atau kurang bermain keluar, bertemu teman-temannya, meskipun sekarang di kampung-kampung masih berlangsung seperti itu sebenarnya," kata Zaini.
Belum lagi, saat ini gempuran yang hadir berupa permainan dalam gawai. Anak-anak lebih memilih duduk di rumah, asyik memainkan gawai atau berhadapan dengan layar komputer dan ponsel genggam.
[Gambas:Instagram]Perubahan kondisi itu menggerakkan hati Zaini untuk mengembalikan kebutuhan anak untuk bersosialisasi dengan sebayanya dan memainkan permainan tradisional melalui Komunitas Hong yang ia dirikan pada 2005.
Di samping itu, permainan tradisional pun ia anggap menjadi media sangat lengkap bagi anak-anak dapat mengenal budaya bangsanya sekaligus sebagai upaya menyiapkan mereka lebih peduli terhadap lingkungannya.
"Karena permainan sekarang mungkin tidak langsung bersentuhan dengan daunnya, tidak bersentuhan lagi dengan temannya, tidak bersentuhan dengan airnya, tapi digembor-gemborkan untuk cinta tanah air," kata Zaini.
"Ironinya, anak-anak sekarang tidak kenal tanah airnya itu sendiri, tidak kenal tanah itu dipijak dan ada hal yang menyenangkan dengan permainan air," lanjutnya.
Zaini juga merasa optimis bahwa kelak permainan akan kembali muncul sebagai media pembelajaran bagi anak-anak. Menurutnya, masa saat ini adalah adalah momen anak-anak akan merasakan kejenuhan bermain permainan modern.
"Mereka ingin menggerakan tangannya, mereka ingin menggerakan kakinya, mereka ingin mencari lagi permainan yang lainnya. Jadi, bukan anak-anak tiba-tiba harus kembali ke permainan tradisional dan bermain permainan tradisional. Tetapi, permainan [tradisional] itu diangkat sebagai konsepsi nilai-nilai yang sekarang ini dibutuhkan." kata Zaini.
(end)