Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap idola mesti memiliki penggemar. Dan sebagian di antara mereka memiliki rasa cinta yang lebih besar sehingga cenderung fanatik. Begitu pula yang terjadi dengan
K-Pop. Namun dari sudut pandang psikologi, kegandrungan para K-Popers ini menimbulkan ketertarikan sekaligus kecemasan.
Hal itu diakui oleh praktisi dan akademisi psikologi Vierra Adella. Dosen Universitas Atma Jaya Jakarta tersebut bahkan menyebut bahwa kegandrungan para K-Popers yang jumlahnya bisa dibilang masif sebagai sebuah "fenomena" dan jadi lahan baru bagi sebagian orang mendulang cuan.
"[Hiburan] Korea ini fenomenanya dipoles sedemikian [rupa] sehingga didukung semua [aspek]: media mendukung, bisnis dukung. terus sosial media enggak berhenti. Mereka [industri hiburan Korea] juga produktif," kata Adella kala berbincang dengan
CNNIndonesia.com, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini berbeda dengan idola biasa, macam Katy Perry atau Justin Bieber," lanjutnya. "Kalau secara alaminya, ada masa hidup-mati, naik-turun. Kalau Korea ini bukan hanya mengangkat satu figur. Semua sistem bekerja membuat ini menjadi langgeng,"
"Sehingga masyarakat seperti diciptakan sebagai sebuah ladang bagi mereka, sehingga betah di dalam itu berlama-lama," tambah Adella.
Adella bukan sembarang berkomentar pedas terkait gelombang budaya Korea yang sudah 'menginvasi' Indonesia lebih dari sedekade lalu. Dirinya kerap menemukan berbagai kasus, yang sebagian besar melibatkan anak di bawah umur, keranjingan konten hiburan Korea hingga menimbulkan masalah perkembangan psikologis atau pun dalam kehidupan mereka.
Adella tak menampik bila fenomena
fandom atau keranjingan akan idola tersebut telah ada sejak dulu kala, termasuk era The Beatles atau pun Elvis Presley. Namun faktor "kelanggengan" dan bisnis yang kental terasa dalam fenomena ini membuat sebagian ahli kejiwaan, kata Adella, menyamakan K-Pop dengan narkoba.
"Masyarakat jadi
nagih. Dibuat 'sakau' kalau tidak melihat," kata Adella. "Kalau sudah seperti itu, minimal pulsa [yang terkorbankan],"
 Ilustrasi K-Popers: Fans SUJU rela menantikan idola mereka jelang konser di Jakarta, 2015 lalu. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
CNNIndonesia.com sendiri telah bertemu dengan sejumlah penggemar K-Pop yang memiliki kisah fanatisme yang tak biasa, seperti mulai dari mengejar idola hingga rela menginap satu hotel, mengeluarkan ratusan juta untuk membeli album demi kesempatan dapat tanda tangan, hingga merasa 'tidur bersama idola' hanya karena ada posternya mengarah ke tempat tidur.
Sejumlah aksi fanatisme K-Popers lainnya pun pernah terekam dalam pemberitaan, baik di Indonesia maupun di negara lain, mulai dari rela menunggu berjam-jam untuk menyambut kedatangan idola, hingga menyakiti diri sendiri kala idolanya meninggal dunia.
Menyasar RemajaMenurut Adella, kelompok remaja memang adalah sasaran dan alasan utama mengapa konten atau pun segala hal tentang Korea, termasuk K-Pop ataupun K-Drama, menjadi langgeng.
Adella menilai bahwa konten hiburan yang dibawa Korea lebih banyak menyebabkan fungsi otak pada remaja yang rentan menjadi
pruning alias penurunan fungsi akibat terputusnya neuron karena tidak digunakan.
Pruning sebenarnya terjadi secara alamiah seiring dengan perkembangan otak pada manusia. Namun menurut Adella, ketika seseorang terlalu berlebihan dalam menyukai hiburan yang membuat senang, maka fungsi produktif pada otak bisa terancam.
"[Konten] Korea lebih banyak ke hiburan kan? Hiburan sebenarnya ada porsi yang dibutuhkan oleh manusia. Nah di [hiburan] Korea ini porsi hiburannya melebihi porsi untuk otak produktif," kata Adella.
"Jadi, berpikir waras dengan khayalan, porsinya tidak imbang. Makanya temuan-temuan [kasusnya] yang paling banyak, yang fanatik ini," lanjutnya.
Meski terkesan menakutkan, masih ada hal baik dari kegandrungan akan K-Pop di halaman selanjutnya...
Khususnya pada remaja yang kerap mengalami gejolak emosional, Adella menilai hiburan Korea seperti
K-Pop dan K-Drama amat lihai mengambil dan mengelola rasa 'drama' sehingga menarik minat pada golongan usia ini.
Salah satu contoh, ketika banyaknya fasilitas hiburan dari idola yang membawa penggemar dengan sang bintang menjadi lebih dekat seperti bisa mengamati kegiatan serta mengetahui berbagai curhatan sang idola.
"Nah kondisi ini yang membuat anak-anak merasa dekat dengan idol mereka. Mereka pikir "sama nih gue". Ketika [merasa] sama, cara yang dipakai sama idola itu ditiru juga. Remaja kan seperti itu. Kalau cara-caranya konstruktif sih ya saya senang," kata Adella.
"Jangan lupa kalau remaja adalah makhluk yang sedang dalam kondisi instabilitas tinggi. Orang ahli saja bilang remaja ada dalam fase ''tsunami''. Jadi emosi yang sedang muncak. Segala sesuatu diangkat dengan emosi yang setinggi-tingginya," lanjutnya.
"Satu lagi, fungsi otak remaja lagi ''apa yang sedang dia nikmati, dia akan berlama-lama di situ''. Dia nikmat di situ, ya sudah, dia lupa yang lain," tambahnya.
MenginspirasiMantan penyanyi Shelomita memiliki pandangan berbeda. Sebagai orang tua yang memiliki anak-anak K-Popers, wanita yang kerap disapa Mita ini beranggapan konten hiburan Korea masih memiliki nilai positif terhadap anaknya. Ia mengaku tak terlalu khawatir terkait kesukaan anak-anaknya terhadap K-Pop.
"Enggak [khawatir] sih. Mungkin itu alasan dan manfaatnya orang tua harus tahu, ikut mengerti, ikut memahami dan menghargai kesukaan anak. Itu prinsip saya mendidik anak, ya sama anak ikatannya harus kuat," kata ibu empat anak ini.
"Buat saya, contoh atau inspirasi yang bagus buat mereka melihat kehidupan para pemain atau penyanyi K-Pop ini mencapai kesuksesan mereka, itu bukan hal yang mudah," kata Shelomita kala berbincang dengan
CNNIndonesia.com di kesempatan terpisah.
Namun ia mengakui bahwa dirinya menerapkan sejumlah aturan bagi anak-anaknya terkait mengakses aneka hiburan Korea tersebut, mulai dari durasi menonton YouTube, penegasan jam belajar, hingga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya batasan anggaran untuk 'kesenangan' Korea ini.
"Misal ada lima atau enam konser, mereka enggak berani minta semuanya. Mereka tahu itu enggak murah. Jadi dia tahu dan saya juga menghargai kecintaannya. Kita tahu rasanya kalo punya idola dan dia mendekat," kata Shelomita yang juga menyebut selama ini tak ada tingkah kelewatan dari anaknya akibat kegandrungan akan K-Pop.
 Shelomita (kiri) bersama Marini Soerjosoemarno yang ikut menyukai K-Pop. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
"Kita tidak bisa kayak orang tua dulu lagi, melarang, enggak bisa. Anak sekarang beda. Lebih banyak dialog. Dengan penjelasan, anak mengerti mengapa sekolah penting sehingga bisa mengimbangi antara kewajiban dan kesenangan," timpal ibunda Shelomita, penyanyi dan aktris Marini Soerjosoemarno dalam kesempatan yang sama.
Tindakan pengasuhan yang dilakukan Shelomita senada dengan nasihat dari Adella selaku psikolog. Adella menyarankan orang tua mengetahui betul terkait kesukaan dan perkembangan anak, terutama kala mereka remaja.
Namun Adella menegaskan, dengan berusaha mengetahui kesukaan anak, bukan berarti bahwa orang tua juga ikut 'teracuni' oleh konten-konten hiburan Korea. Hal ini ditegaskan Adella lantaran dirinya menemukan banyak orang tua yang mestinya bisa menjadi pengarah anak malah ikut menjadi 'korban'.
"Mereka [remaja] punya fenomena menjauh dari orang tua. Nah orang tua yang bagaimana yang tetap bisa masuk ke kehidupan anak? Orang tua yang mau masuk. Ketika anak ada masalah emosional mereka butuh seseorang, nah kita yang mesti menyediakan diri di waktu yang tepat," kata Adella.
"Lihat tanda-tandanya secara emosional ada masalah apa, apa yang dipikirkan mereka. Jangan jadi orang terakhir yang tahu tentang anak." tambahnya.
[Gambas:Youtube]