Jakarta, CNN Indonesia -- Saya tidak merasa tertarik setelah mendengarkan album
Pikiran dan Perjalanan karya
Barasuara. Berbeda ketika mendengarkan album
Taifun (2015). Bara hampir terasa di setiap lagu dan komposisi suara alat musik dan vokal terasa tepat.
Alih-alih,
Pikiran dan Perjalanan justru tidak lebih baik dari
Taifun. Walau kualitas rekaman bagus, tetapi sebenarnya komposisi musik terlalu padat sehingga terasa memaksakan, terlalu banyak suara. Dan bara dalam lagu-lagu mereka kurang terasa.
Mari lebih dulu membahas bara yang kurang terasa dalam album
Pikiran dan Perjalanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lagu
Pikiran dan Perjalanan misalnya, terdapat transisi pada menit 2 detik 13 yang terasa ganjil. Mereka mengawali lagu dengan gitar elektrik yang dominan, kemudian bertransisi menjadi gitar akustik yang lebih dominan. Lagu yang awalnya terasa semangat jadi sendu seketika.
Transisi yang mengubah 'rasa' lagu adalah salah satu alasan yang membuat bara kurang 'panas' dalam lagu ini. Transisi serupa juga terjadi pada
Guna Manusia, dari dominan distorsi gitar yang merangsek untuk berjingkrak, berubah menjadi dominan synthesizer yang lebih enak dinikmati sambil santai.
Perubahan itu ada pada di menit 2 detik 27. Bila diperhatikan, seketika
Guna Manusia terasa mirip
Let It Happen milik
Tame Impala.
Selain itu, dalam lagu ini suara drum terdengar sangat digital. Padahal Marco Steffiano benar-benar memainkan set drum saat rekaman, namun setelah itu sepertinya diberi cukup banyak efek sehingga terdengar begitu digital.
Drum ala digital tadi menjadi alasan lain bara album ini kurang terasa. Jangan kaget, suara drum seperti yang dipaparkan terdapat di banyak lagu. Seperti dalam lagu
Seribu Racun,
Guna manusia,
Pancarona,
Samara dan
Tirai Cahaya.
Sepertinya bara akan lebih hangat dalam lagu-lagu Barasuara bila drum terdengar organik, seperti dalam album
Taifun.
 Musik Barasuara terasa terlalu padat dalam album 'Pikiran dan Perjalanan'. (Barasuara/Davian Akbar) |
Berikutnya adalah komposisi musik yang terlalu padat sehingga terasa memaksakan.
Lagu
Guna Manusia misalnya, dari awal suara gitar elektrik, drum, bas dan synthesizer sudah terdengar. Semua personel seakan terlihat ingin menonjol dan dominan, hingga hasilnya kurang baik. Seperti adonan yang dibuat dengan banyak tangan tak selalu menjadi kue yang enak.
Hal serupa terasa pada lagu
Masa Mesias-Mesias. Terlebih lagu diramaikan oleh vokal Iga Massardi, Puti Chitara dan Asteriska Widiantini yang dinyanyikan dengan tingkatan nada yang sama. Akan lebih baik rasanya kalau mereka berbagi suara, ada yang mengambil suara 1, suara 2 dan suara 3.
Pada lagu ini sebenarnya ada bagian di mana vokalis Barasuara memecah suara, tetapi hanya sedikit. Salah satunya saat melantunkan lirik '
dalam pikiran, dalam pikiran, dalam pikiranmu' pada menit 1 detik 12.
Terlepas dari penjelasan di atas, unsur yang paling berbeda dari
Pikiran dan Perjalanan adalah bunyi-bunyian elektronik yang dihasilkan synthesizer. Sebenarnya kehadiran synthesizer pun biasa saja, tidak membuat keseluruhan album jadi lebih baik.
Saat sesi dengar
Pikiran dan Perjalanan khusus media, bassist Gerald Situmorang menjelaskan bahwa hampir semua lagu pada album ini dibuat saat
jamming di studio. Kala itu setiap personel bisa memberikan masukan. Bahkan lagu yang sudah mendapat berbagai masukan bisa berubah ketika muncul ide baru.
Kemungkinan besar, hal itu yang menjadi alasan mengapa komposisi beberapa lagu dalam
Pikiran dan Perjalanan terdengar terlalu padat dan terkesan memaksakan.
(adp/rea)