Jakarta, CNN Indonesia --
Komik-komik pahlawan super Indonesia seperti
Gundala,
Godam,
Si Buta dari Gua Hantu tampaknya akan membutuhkan upaya lebih keras agar dapat bangkit dari keterpurukan.
Komik nasional sempat mengecap masa keemasan di era 1970-an, di mana mereka menjadi sarana hiburan pilihan nomer satu.
Satu dekade kemudian, popularitas komik Indonesia mulai mengalami penurunan. Saat itu, toko-toko buku besar mulai menjamur. Mereka menyediakan komik-komik dari luar negeri, termasuk dari Amerika dan Jepang yang terkenal dengan sebutan manga. Penggemar memiliki banyak pilihan, dan mereka tertarik pada hal baru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kolektor dan pengamat komik, Henry Ismoyo mengungkapkan hal tersebut saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Pada era 1980-an, banyak toko-toko buku besar dan komik-komik luar negeri seperti dari Jepang yang mulai masuk. Dan saat itu, penerbit kita rada ternganga. Komikusnya kayak dibilang sulit bersaing, ya iya, dan itu berpadu jadi satu," katanya.
Menurut Henry, surutnya komik nasional masa itu bukan semata karena faktor membanjirnya komik dari luar negeri saja, namun diperkuat oleh gempuran media hiburan lain. Nyaris di era bersamaan, publik ramai-ramai berpaling pada sajian televisi.
Ia mengingat, seiring membesarnya toko-toko buku yang menempatkan komik buatan luar negeri di rak-rak terdepan, komik-komik lokal justru dijajarkan di emperan jalan. Hanya dilirik oleh para pejalan kaki, dan bukan tak mungkin, ditawar harganya bila ada yang berminat.
'Kegagahan' komik semakin menyusut. Henry menyayangkan tidak ada pergerakan progresif dari pelaku industri saat itu. Kebanyakan memilih mengekor pada resep yang sudah pasti sukses di pasaran, tak ada dobrakan baru atau goresan yang menawarkan cerita segar. Salah satu genre yang disukai, soal pahlawan super atau jagoan.
 Perwujudan komik Gundala jadi film bioskop dianggap sebagai sebuah sinyal positif tentang keberadaan komik lokal yang sempat terpuruk di Indonesia. (dok. Screenplay Films dan Bumilangit Studios via Twitter/@jokoanwar) |
"Sebenarnya kalau mau masuk ke kualitas komik, pada tahun 1980-an itu nyaris enggak ada perubahan. Larinya superhero dan silat saja, sementara komik-komik asing itu muncul dengan keberagaman tema kan? Di situ saja kelihatan sekali penerbit dan komikus itu ya terengah-engah untuk bersaing," kata Henry.
Proyek adaptasi Gundala dari komik ke layar lebar yang mengusung tajuk Jagat Sinema Bumilangit tak urung membuat Henry merasa optimis atas kebangkitan komik lokal. Ia menilai Gundala bisa jadi tonggak momen, sekalipun sebenarnya selama ini komik itu sendiri tak pernah benar-benar mati.
Hal itu juga tergambar melalui peredaran komik yang kini menyesuaikan dengan perkembangan zaman, seperti lewat platform di internet.
"Sebenarnya [saat ini] komik Indonesia tuh lagi ramai-ramainya, karena anak muda ketika ada beberapa platform komik kayak misalnya Webtoon, Chiayo, mereka bisa menemukan banyak sekali [pilihan], ada ratusan judul di situ," kata Henry.
Ia menambahkan, "Komik itu tuh tumbuh, tetapi kemunculan [film] Gundala itu paling enggak ya menjadi semacam apa ya, promosi dia yang gila-gilaan, besar-besaran, pasti akan mengangkat komik. Orang akan melirik lagi bahwa komik sebagai sebuah karya itu tidak bisa dipandang remeh."
[Gambas:Video CNN] (agn/rea)