Memahami Love (2015) karya Gaspar Noe sama sulitnya menentukan film ini termasuk karya drama erotis atau justru pornografi. Noe, dengan gaya khasnya, membuat film ini tak bisa dinilai hanya melalui penilaian singkat.
Love mungkin dianggap pornografi, bila hanya melihat dari dua menit pertama atau pada menit-menit setiap selang durasi tertentu. Atau orang juga bisa menyebut film ini sebagai erotis fantasi bila hanya melihat sinopsis atau poster dan trailernya.
Saya menangkap, Love jauh lebih kompleks dibanding itu, sama rumitnya seperti cinta itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film yang tayang perdana di Cannes Film Festival 2015 ini mengisahkan pergulatan batin Murphy (Karl Glusman) untuk lepas dari bayang-bayang kenangan cinta dengan mantan kekasihnya, Electra (Aomi Muyock).
Kenangan itu datang kembali setelah ibunda Electra menghubungi Murphy karena tak mendengar kabar dari sang putri selama beberapa bulan. Murphy sendiri sudah sekian tahun tak bertemu dengan Electra dan telah berkeluarga dengan Omi (Klara Kristin).
Omi merupakan perempuan yang hadir di antara hubungan Murphy dan Electra. Semula kehadirannya merupakan kesepakatan antara pasangan tersebut. Hingga kemudian, Murphy bermain cinta di belakang Electra yang berujung perpisahan menyakitkan.
Pergulatan batin Murphy untuk lepas dari mantan kekasih itu kemudian berbalut dengan candu akan narkoba, sama seperti ketika ia berpetualang cinta bersama Electra.
Ketika Murphy dimabuk opium, kenangan demi kenangan pun datang, begitu pula dengan penyesalan, bahagia, fantasi, kepuasan, hingga frustrasi yang muncul silih berganti.
Dalam Love, Gaspar Noe menggunakan campuran gaya penyutradaraan dan narasi yang pernah ia lakukan dalam film sebelumnya, khususnya antara film pertamanya I Stand Alone (1998) dengan film keduanya Irreversible (2002).
Hal itu terlihat dari narasi monolog dari Murphy yang dimunculkan Noe sejak awal hingga akhir film. Gaya monolog ini sekaligus menegaskan pergulatan batin Murphy atas cerita cinta juga frustrasi yang ia rasakan.
![]() |
Gaya itu mirip dengan I Stand Alone (1998) yang mengisahkan pergolakan batin seorang pria paruh baya dan pencarian atas tujuan hidupnya.
Gaya monolog ini membuat seolah-olah penonton ikut merasakan perasaan dan memahami pemikiran dari Murphy secara lebih mendalam.
Dari sana, penonton bisa memahami bahwa cinta yang dirasakan Murphy terhadap Electra bukan hanya sekadar cinta anak muda apalagi nafsu semata.
Sehingga, ketika kemudian Murphy terpaksa menjalani perkawinan akibat 'kecelakaan' dengan seseorang yang tak ia cinta, rasa sakit dari perpisahan dengan Electra semakin perih.
Sementara itu untuk alur cerita, Gaspar Noe mengadopsi gaya yang pernah ia gunakan dalam Irreversible (2002).
Noe mengambil gaya kronologi mundur dalam film yang dibintangi Monica Bellucci tersebut yang kemudian dipadukan dengan kondisi ketika Murphy sedang galau di masa kini.
Penuturan gaya kombinasi ini memaksa penonton mesti bertahan hingga akhir untuk bisa memahami cerita secara utuh. Sudah jadi gaya Noe untuk tak langsung membuka keseluruhan cerita sejak awal.
Sutradara kelahiran 1963 itu tampaknya punya hobi memberikan sedikit demi sedikit latar cerita di antara alur cerita utama. Ia pun menjalankan alur tersebut dengan pelan demi memaksimalkan eksplorasi visual.
Masalahnya, tempo lambat dengan gaya Noe yang eksperimental itulah yang menjadi tantangan bagi penonton untuk tetap bertahan membuka mata juga fokus.
Apalagi, Noe terbiasa menggambarkan adegan-adegan dewasa dengan amat gamblang yang untuk sebagian orang mungkin ini menjadi kategori "disturbing".
![]() |
Bagi yang pernah menonton seluruh film Gaspar Noe pasti memahami bahwa segala adegan sadis, brutal, seks, juga kekerasan dengan visual yang gamblang tanpa basa-basi sensor adalah sajian lumrah dari sutradara asal Argentina itu.
Namun untuk Love, Gaspar Noe tak menyediakan banyak adegan kekerasan dan brutal. Sesuai judulnya, Noe lebih banyak mengeksplorasi cinta, juga seks. Bahkan saya bisa mengatakannya 'terlalu banyak'.
Gaspar Noe dengan konsisten memberikan adegan dewasa dalam Love rata-rata selama lebih dari dua menit dalam setiap sesi yang muncul tiap belasan menit. Bahkan adegan dewasa seperti 'iklan' antar babak cerita Murphy dan Electra.
Bila masyarakat sudah heboh dengan film 365 Days, percayalah, Love memiliki gambar lebih riil dan nyaris tak seperti akting.
Meski begitu, saya cenderung enggan menyebut karya Noe lewat Love ini sebagai pornografi.
Konten seksual dalam Love memang terlalu gamblang untuk sebuah film erotis dan dewasa. Namun bila membandingkan dengan film biru seperti dari sejumlah laman porno raksasa yang dikenal publik, Love terlalu 'prestise' untuk dikelompokkan dengan film-film itu.
Mengapa demikian? Love memiliki sinematografi yang estetik, meski kadang menjadi terlalu remang atau mengganggu fokus penglihatan.
Selain itu film ini juga membahas soal emosi dari karakter sehingga lebih personal, bukan seperti film porno kebanyakan yang bersifat memberikan kesenangan fantasi bagi penontonnya dengan jalan cerita yang kadang mengada-ada.
Meski begitu, saya juga sungkan menilai film ini sebagai drama erotis mengingat kadar konten seksualitas di dalamnya. Bila ada sub genre lain di antara erotis dan porno, mungkin Love bisa mengisi di sana.
Sementara itu, akting para pemain juga terbilang tak ada yang spesial mengingat fokus dari film ini sudah buyar dengan eksplorasi Gaspar Noe dan adegan dewasa yang terlalu banyak.
Pada akhirnya, bagi saya Love adalah sebuah film yang indah secara estetika visual namun memiliki cerita yang cenderung membosankan dan kurang fokus. Love mungkin merupakan film dengan cerita yang amat biasa dibandingkan film Gaspar Noe lainnya.