Memahami Mudik karya Adriyanto Dewo tak bisa hanya sekadar menonton dan langsung mengerti apa yang sebenarnya dikisahkan oleh Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2016 tersebut.
Butuh lebih banyak waktu dan kesabaran bagi saya untuk menyadari bahwa "mudik" yang diangkat Adriyanto bukan hanya merujuk pada tema atau latar cerita film ini, tetapi juga menggambarkan pesan di dalamnya.
Terlepas dari polemik makna mudik yang sempat riuh beberapa waktu lalu, Adriyanto mencoba menunjukkan makna lain dari "mudik" dalam film ini, yaitu ketika seseorang kembali menemukan hakikat juga suara hatinya setelah sekian lama 'merantau' dalam kehidupan yang fana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selayaknya mudik kala hari raya, perjalanan seseorang untuk berani menyuarakan apa yang ia rasakan bisa berlangsung lama namun penuh penantian, membosankan namun kadang menegangkan, hingga rela berkorban demi mendapatkan sesuatu.
Mudik yang digarap dan ditulis oleh Adriyanto Dewo ini mengisahkan perjalanan mudik pasangan suami-istri, Aida (Putri Ayudya) dan Firman (Ibnu Jamil) ke kampung halaman mereka. Masalahnya, mudik itu dilakukan di tengah situasi mereka yang sedang berkonflik.
Konflik itu sendiri ditengarai keberadaan orang ketiga. Masalah itu pun belum seutuhnya kelar sehingga keduanya seperti tengah perang dingin. Namun namanya juga lebaran, mereka mesti pergi ke kampung sebagai pasangan 'bahagia' untuk bertemu dengan keluarga di kampung halaman.
Di tengah perjalanan yang membosankan dan bernuansa tak enak, mereka menabrak seseorang. Kesialan itu belum selesai. Korban mereka meninggal dunia dan membuat keduanya harus menghabiskan berhari-hari di kampung korban demi 'berdamai' dengan pihak keluarga korban.
Di kampung itu, mereka bertemu dengan Santi (Asmara Abigail) yang merupakan istri korban tabrakan. Pertemuan itu kemudian berkembang menjadi pencarian akan suara hati masing-masing pihak yang menjadi tujuan dari film ini.
Secara konsep cerita, Mudik yang berlatar waktu pada 2018 ini sebenarnya amat menjanjikan. Apalagi, Adriyanto Dewo dengan amat baik menggambarkan nuansa, mood, atmosfer, hingga tampilan juga dialog dengan riil selayaknya pasangan yang mudik pada umumnya.
![]() |
Adriyanto tak luput menyajikan beragam hal detail dan sepele namun 'khas mudik', mulai dari berhenti di rest area untuk ke toilet, makan masakan Padang yang terbilang mudah ditemukan di mana pun, istirahat di tepi jalan, melewati tol Cikampek yang macet, hingga tidur dengan tak nyaman di kursi mobil.
Satu lagi, saya harus mengapresiasi keputusan Adriyanto membuat Putri Ayudya dan Ibnu Jamil tampil kucel dan lusuh sepanjang film. Itulah gambaran seutuhnya pemudik -terutama via mobil- yang sesungguhnya.
Bukan hanya itu, latar tempat dan pemilihan lokasi mulai sejak perjalanan hingga di pedalaman desa juga amat baik dan terasa riil. Belum lagi, budaya pawai obor yang biasa dilakukan oleh masyarakat desa di Jawa pada malam takbiran juga dimasukkan dalam film ini.
Suasana dan beragam potongan gambar itu jelas membuat rindu untuk kembali menikmati perjalanan mudik yang tahun ini gagal dilakukan banyak orang gara-gara pandemi.
Masalah yang diangkat dalam Mudik juga terbilang riil. Mulai dari konflik rumah tangga yang nyatanya tak sesederhana kehadiran orang ketiga, nestapa istri yang ditinggal suami merantau dan menjadi janda, hingga pemerasan juga kungkungan dari masyarakat terhadap segolongan pihak.
Hal lain yang patut diberi acungan jempol dari Mudik adalah sinematografinya yang apik. Sinematografi film ini terbilang pas, estetik namun masih terlihat natural. Vera Lestafa selaku sinematografer mampu menangkap visual cantik dari kampung di pedalaman.
Terkait aksi para pemain, saya cukup terkesan dengan aksi Putri Ayudya dan Asmara Abigail yang mampu membangun chemistry, mulai dari benci hingga kemudian memiliki sisterhood yang kuat. Keduanya adalah pahlawan yang berontak dari tekanan sosial atas perempuan.
Namun semua filosofi dan visual cantik dalam Mudik yang saya jabarkan di atas tak bisa didapat dengan mudah. Dengan durasi 1,5 jam, Mudik terbilang film dengan tempo yang amat lambat.
![]() |
Adriyanto tampak amat ingin membawa penonton merasakan hubungan dingin dan bermasalah dalam perjalanan mudik Aida dan Firman yang lama. Namun konflik yang terbilang minim pada setengah durasi film membuat saya sesekali 'menepi' dari perjalanan tayangan tersebut.
Bukan hanya itu, dialog yang minim dan lebih bermain ekspresi membuat film ini menuntut banyak kesabaran bagi penonton untuk mendapatkan 'gong'-nya.
'Gong' itu pun baru didapat jelang akhir cerita, yang justru menurut saya akan lebih menarik bila bisa dieksplorasi lebih dalam.
Hal itu karena Mudik ternyata menggambarkan bahwa masalah dalam perjalanan tersebut bukan hanya sekadar ribut rumah tangga, apalagi terkait karakter Santi dan perbincangannya dengan Aida.
Selain itu, film Mudik yang dirilis di Mola TV mulai 28 Agustus 2020 ini sebenarnya akan bisa lebih terasa "pas" bila dirilis pada momen Lebaran 2020, Mei lalu. Selain karena judul dan temanya sesuai dengan momentum, ragam nuansa yang muncul bisa mengobati kerinduan mudik akibat terhalang pandemik.