Review Film: Guru-Guru Gokil

Muhammad Andika Putra | CNN Indonesia
Jumat, 21 Agu 2020 19:02 WIB
Review Guru-Guru Gokil menilai film ini boleh saja menyandang status film orisinal Netflix, namun itu tak memberikan jaminan bahwa film ini akan bisa memukau.
Review Guru-Guru Gokil menilai film ini boleh saja menyandang status film orisinal Netflix, namun itu tak memberikan jaminan bahwa film ini akan bisa memukau. (dok. Netflix)
Jakarta, CNN Indonesia --

Guru-Guru Gokil boleh saja menyandang status sebagai film orisinal Netflix kedua dari Indonesia. Namun status itu tak memberikan jaminan bahwa film ini akan bisa memukau.

Kenyataannya, film yang dibintangi dan diproduseri oleh Dian Sastrowardoyo ini belum bisa memenuhi ekspektasi, walaupun juga tak bisa dibilang sepenuhnya mengecewakan.

Padahal film ini terbilang menjanjikan, dengan cerita yang menarik dan segar dibanding film drama komedi serupa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guru-Guru Gokil mengisahkan seorang bernama Taat Pribadi (Gading Marten) yang berambisi menjadi orang sukses. Baginya, kesuksesan berarti memiliki banyak uang.

Pekerjaan apa pun rela ia lakukan demi mendapatkan uang asalkan tidak bekerja sebagai guru. Ia telah lama membenci profesi yang disebut "pahlawan tanpa tanda jasa" tersebut karena suatu hal.

Namun pada akhirnya, ia justru menjadi guru karena hanya itulah pekerjaan 'yang ada' untuknya.

Guru-Guru GokilReview Film Guru-Guru Gokil menilai film ini terbilang menjanjikan, dengan cerita yang menarik dan segar dibanding film drama komedi serupa. (dok. Netflix)

Ide cerita tersebut sayangnya kurang digarap dengan maksimal. Ada beberapa kekurangan besar yang kemudian membuat film ini terasa kurang berkesan. Bila tidak ada kekurangan besar, saya yakin film ini bisa jauh lebih baik.

Kekurangan besar yang cukup fatal dalam film ini adalah kemunculan konflik yang terasa dipaksakan, yaitu ketika gaji guru satu sekolahan tempat Taat mengajar dicuri rampok.

Sementara itu, motivasi karakter antagonis yang dimainkan oleh Pak Le (Kiki Narendra) sebagai otak dari perampokan, kurang bisa dipahami.

Memang sepanjang film Pak Le digambarkan sebagai penjahat yang misterius. Tetapi itu saja tidak cukup. Motivasi ia memerintahkan perampokan harus tetap jelas agar konflik yang muncul terasa natural. Bila tidak, akan terasa dipaksakan dan mengada-ada seperti yang terjadi dalam film ini.

Hal itu diperparah dengan pendirian Pak Le sebagai suatu karakter seperti tidak konsisten. Padahal konsistensi suatu karakter sangat penting karena berdampak pada logika cerita, baik untuk karakter antagonis atau protagonis.

Dalam satu adegan, Pak Le secara tidak langsung menjelaskan bahwa uang gaji guru yang ia curi tidak berarti. Adegan tersebut kemungkinan untuk menjelaskan bahwa Pak Le sangat kaya, karena dari awal dia memang dijelaskan sebagai penjahat yang kaya.

Pernyataan Pak Lek sontak membuat saya berpikir dan mempertanyakan logika cerita film ini. Kalau uang itu tidak berarti baginya dan sudah kaya, buat apa ia merampok? Padahal kisah perampokan ini ditempatkan sangat penting dalam film hingga menjadi landasan cerita.

Kekurangan lain dalam film ini adalah pelibatan murid-murid yang terasa dipaksakan saat membantu guru-guru bertindak untuk kembali merebut gaji yang dicuri. Tepatnya ketika murid-murid membantu Taat dengan menggambar tato dan membantu guru-guru menangkap perampok.

Guru-Guru GokilReview film Guru-Guru Gokil menilai kekurangan lain yang tidak kalah fatal adalah adegan-adegan komedi yang gagal mengocok perut. (dok. Netflix)

Dengan pengantar yang seadanya, seketika murid-murid langsung membantu guru. Rahabi Mandra dan Tanya Yuson selaku penulis naskah seolah mengambil jalan pintas saat membuat adegan itu. Bagaimanapun penyampaiannya, yang penting satu bagian cerita selesai.

Memang cukup mengharukan melihat murid dan guru saling membantu, apalagi dalam film yang fokus tentang guru. Tapi lama-lama lelah juga melihat adegan seperti itu, pada akhirnya keterlibatan murid hanya sebatas formalitas.

Kekurangan lain yang tidak kalah fatal adalah adegan-adegan komedi yang gagal mengocok perut. Tentu hal ini sangat fatal, karena Guru-Guru Gokil adalah film bergenre drama komedi.

Beberapa adegan yang tidak lucu adalah ketika Rahayu (Faradina Mufti) berusaha membebaskan diri usai gaji guru dirampok dan ketika menakuti Pak Le dengan barang kesayangannya. Jangankan ketawa melihat adegan tersebut, membuat saya tersenyum saja tidak.

Bagi saya, adegan komedi yang bagus justru adegan-adegan sederhana dengan dialog yang memancing tawa. Saya berkali-kali tertawa melihat Nirmala (Dian Sastrowardoyo) susah fokus saat berbicara dan membahas hal tidak penting dengan dialek Jawa Barat.

Terlepas dari kekurangannya, film yang disutradarai Sammaria Simanjuntak ini layak mendapat pujian atas penggambaran profesi guru di Indonesia.

Film ini menggambarkan guru sangat nyata, bagaimana mereka mendapat gaji sangat kecil meski pekerjaannya tidak mudah.

Belum lagi profesi guru kurang dihargai dan masih dipandang sebelah mata. Selain itu, film ini juga menggambarkan kondisi nyata dana bantuan dari pemerintah yang kerap kali telat cair padahal sekolah sedang benar-benar membutuhkan.

Saya rasa semua itu kritik yang sangat tepat disampaikan di tengah situasi Indonesia saat ini.

Dari segi akting, pemeran dalam film ini tampil dengan baik. Kualitas akting Gading Marten sebagai pemeran utama dalam film ini terbilang bagus. Namun bila membandingkan Faradina sebagai pemeran pembantu, Faradina tampil lebih baik.

[Gambas:Youtube]



(end)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER