Satu hari di 2018. Hugh Jackman tengah sibuk merencanakan tur akbarnya ketika seorang sutradara muda yang baru punya rekam jejak satu film, Corey Finley, dengan berani menawarkan kerja sama kepada sang aktor peraih berbagai trofi.
Dari tangan Finley, Jackman menerima draf naskah Bad Education, film tentang skandal finansial sekolah terbesar di Amerika Serikat yang sempat menghiasi halaman muka berbagai koran di Negeri Paman Sam sekitar dua dekade silam.
Dengan skeptis, Jackman bertanya, "Ini tentang apa? Apa kita hanya akan menceritakan kembali skandal di halaman depan koran 20 tahun kemudian, hanya untuk menyalahkan orang ini lagi?"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Finley lantas menjawab, "Tidak. Saya hanya mau mengetahui bagaimana kejahatan seperti ini bisa dilakukan oleh orang yang baik?"
Tanpa pikir panjang, Jackman langsung menerima tawaran Finley. Jackman mengaku kagum dengan filosofi dan cara pandang Finley mengenai satu perkara.
Tak salah nilai, Finley memang berhasil membingkai Bad Education menjadi film yang bisa membawa perspektif baru dalam melihat satu skandal besar dan menguliti berbagai lapisan kepribadian manusia dan paradoks di dalamnya.
Pada akhirnya, bingkai tersebut dapat memotret gambaran umum praktik korupsi yang menjadi intrik klasik dalam tiap kehidupan bernegara dari dulu hingga kini.
Bingkai itu terpaku sempurna di atas dasar humor segar, sinematografi apik, dan musik yang menciptakan atmosfer dramatis sesuai porsi.
Kesempurnaan bingkai tersebut juga diakui oleh banyak pihak, sampai-sampai Bad Education diganjar penghargaan Outstanding Television Movie dalam Primetime Emmy Awards 2020.
Secara keseluruhan, Bad Education merangkum kisah nyata berdasarkan berita bertajuk Bad Superintendent yang diterbitkan New York Magazine pada 2004 silam.
Berita tersebut pada intinya membahas Frank Tassone (Hugh Jackman), pengawas yang menaungi sekolah-sekolah di kawasan Long Island, Amerika Serikat.
Ia begitu dicintai karena kepedulian dan kepiawaian mengasah kemampuan murid hingga membuat tingkat pendidikan di kawasan kecil tersebut masuk dalam empat besar di AS.
Namun di balik itu semua, Tassone dan wakilnya, Pam Gluckin, ternyata memanfaatkan sistem sekolah untuk kolusi dan korupsi, merugikan negara hingga US$11 juta.
![]() |
Berbeda dengan film-film mengenai skandal pada umumnya, Bad Education tidak membingkai Tassone sebagai seorang yang jahat atau culas. Sejak awal, Tassone digambarkan sebagai orang berkarisma, peduli terhadap semua siswa, dan berdedikasi tinggi.
Ia bahkan mendorong salah satu anggota redaksi koran siswa, Rachel Bhargava (Geraldine Viswanatha), untuk menggali lebih dalam mengenai salah satu proyek pendidikan di kawasan Long Island.
"Rachel, tulisan itu akan menjadi biasa saja kalau kamu memperlakukannya seperti biasa saja. Seorang jurnalis sejati bisa mengubah tugas apa pun menjadi sebuah kisah," kata Tassone.
Berkat dorongan itu, Rachel mulai menggali lebih dalam mengenai proyek itu, yang akhirnya malah menjadi awal mula pengungkapan skandal korupsi besar-besaran Tassone.
![]() |
Ketika kasus korupsi itu perlahan terungkap, Finley sangat mahir menangkap dilema para anggota direksi. Mereka geram, tapi tak bisa berbuat lebih karena khawatir dapat merusak reputasi baik pendidikan di Roslyn.
Di AS, reputasi tingkat pendidikan daerah sangat berpengaruh terhadap perekonomian kawasan, karena akan berdampak pada harga properti di sekitarnya.
Dilema kian dalam karena para pelaku korupsi merupakan orang-orang yang mereka kasihi dan andal dalam pekerjaannya.
Dengan menggali adegan ini, Bad Education berhasil memotret dasar dari kebanyakan kasus korupsi, yaitu pembiaran karena perbuatan pelaku juga menguntungkan bagi orang di sekitarnya.
Pada akhirnya, naskah yang ditulis oleh Mike Makowsky untuk Bad Education dapat menyoroti masalah politik tanpa harus mengikuti pakem-pakem film berbau politis pada umumnya.
Upaya memotret dilema tersebut menjadi sempurna berkat olah mimik dan interaksi setiap karakter dalam Bad Education yang sangat prima. Mereka dapat membuat penonton mengerti emosi yang terpendam di dalam diri hanya melalui gestur-gestur sederhana.
Ambil contoh saat Tassone baru menyadari pemberitaan yang menyeret namanya. Perubahan emosi dari bahagia, kaget, hingga marah tergambar jelas hanya melalui air muka Jackman.
Di tengah kekalutan tersebut, Tassone digambarkan masih sangat peduli dengan anak didiknya. Penggambaran pergumulan ini menunjukkan betapa manusia memiliki lapisan kepribadian yang sangat banyak, tak sekadar baik dan jahat.
Totalitas akting Jackman dalam adegan itu terbungkus sempurna dengan pengambilan gambar one-shot yang membuat kesinambungan emosi Tassone terlihat jelas.
Finley memang sangat piawai mengambil sudut pandang kamera untuk mempertajam emosi para aktor yang pada dasarnya sudah sangat mumpuni, seperti Allison Janney, pemeran karakter Pam Gluckin.
Sebut saja adegan saat Gluckin baru pulang ke rumah usai skandalnya terungkap. Ketegangan keluarga Gluckin direkam dengan teknik hand-held, atau tangan yang memegang langsung kamera, membuat momen itu terlihat lebih organik.
![]() |
Variasi pengambilan gambar juga memperkaya rasa dalam film Bad Education. Finley sangat jeli dalam memilah adegan yang harus memakai long-shot dan close-up sehingga dapat menimbulkan efek serius atau komedi di waktu tepat.
Finley juga kerap memainkan wide-shot yang memanjakan mata dengan sudut pandang presisi, terkadang membantu dalam menimbulkan efek komedi dan dramatis.
Efek emosi yang ditimbulkan dalam film ini juga ditunjang dengan kesesuaian scoring. Kali ini, Finley lebih banyak memainkan scoring dengan string section sehingga menimbulkan efek megah dan segar, berbeda dengan film pertamanya, Thoroughbreds, yang terkesan teatrikal karena penggunaan bebunyian tradisional.
Untuk menyuguhkan pengalaman audio yang sempurna, Finley menggandeng Michael Abels. Melalui Bad Education, Abels sekali lagi membuktikan kesempurnaannya sebagai penata scoring untuk film-film komedi gelap, setelah karyanya di Us dan Get Out.
Secara keseluruhan, acung jempol untuk Finley yang dapat kembali membuktikan kebolehannya dalam mengarahkan sebuah film di kesempatan keduanya duduk di kursi sutradara.
Setelah menggarap Thoroughbreds, Finley sekali lagi berhasil menaklukkan tantangan terbesarnya sebagai seorang sutradara melalui Bad Education.
"Saya suka menaklukkan tantangan untuk membuat film yang menjadi lebih serius karena humornya, dan menjadi lebih lucu karena tragedinya," kata Finley dalam sebuah wawancara.
(has)