Di tengah pagebluk yang melanda dunia, tak semua pihak mengalami kesulitan. Sebagian pihak justru mendulang untung, salah satunya layanan streaming yang mengalami lonjakan pengguna.
Riset Media Partners Asia (MPA) menunjukkan Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami lonjakan streaming video hingga 60 persen dalam empat bulan terakhir, selain Malaysia, Filipina, dan Singapura.
Selain itu, keuntungan sejumlah platform streaming di Indonesia juga melonjak berdasarkan data JustWatch per Mei lalu. JustWatch merupakan salah satu layanan panduan streaming dengan 20 juta pengguna di 40 negara dalam lima tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak 15 Maret 2020, ketika pemerintah mengimbau pembatasan sosial, Iflix menjadi layanan streaming dengan lonjakan keuntungan terbesar dengan 518 persen. Disusul Viu dengan 421 persen, Catchplay dengan 358 persen, dan Netflix dengan 298 persen.
Lihat juga:Review Film: The Trial of the Chicago 7 |
Pengamat film Hikmat Darmawan menilai bahwa peningkatan penonton dan lonjakan keuntungan pada layanan streaming merupakan hal yang wajar. Salah satu alasannya adalah karena sejak Maret, bioskop di Indonesia tutup.
"Selain itu, pandemi atau tidak memang tren menonton lewat layanan streaming sedang meningkat. Pandemi hanya membuat tren peningkatan menjadi lebih cepat," kata Hikmat kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Ia sangat yakin bahwa kehadiran layanan streaming tidak akan mematikan bioskop nantinya meski kini tren meningkat. Serupa dengan kehadiran televisi yang dulu disebut-sebut akan mematikan radio, namun semuanya masih ada hingga saat ini.
Lihat juga:7 Film Action yang Berdasarkan Kisah Nyata |
"Tidak mungkin semua beralih ke layanan streaming, karena ada film-film yang memang harus ditonton di bioskop agar audio dan visual optimal. Ada pengalaman sinematik yang berbeda antara bioskop dengan layanan streaming," kata Hikmat.
![]() |
Di Indonesia, setidaknya mulai bulan Oktober lalu sejumlah bioskop di berbagai daerah kembali beroperasi di tengah pandemi. Mayoritas bioskop yang sudah beroperasi dikelola oleh tiga jaringan terbesar di Indonesia, yaitu Cinema XXI, Cinepolis, dan CGV.
Setiap bioskop yang kembali beroperasi harus mematuhi protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah daerah masing-masing. Pun setiap protokol kesehatan di daerah berbeda-beda, misalnya seperti pembatasan kapasitas penonton.
"Mayoritas daerah membatasi kapasitas maksimal penonton mencapai 50 persen. Kemudian di Batam, kalau tidak salah, pembatasan maksimal kapasitas penonton itu 30 persen," kata Public Relation CGV Hariman Chalid, dalam kesempatan terpisah.
Ia menjelaskan tren kehadiran penonton sejak beroperasi di tengah pandemi cenderung positif, ada beberapa hari di mana mencapai kapasitas maksimal dan sebaliknya. Hal itu dinilai wajar karena sebelum pandemi tren penonton juga seperti itu.
Faktor utama yang memengaruhi kehadiran penonton adalah film yang ditayangkan. Hariman mencontohkan dengan film Train to Busan Presents: Peninsula dan Break the Silence: The Movie yang berhasil menarik banyak penonton.
"Tetapi, itu tidak berlaku di semua daerah dan tidak bisa disamakan. Misalnya, kami sempat menayangkan film anime di CGV Padang setelah buka, itu ramai sekali yang nonton. Basis komunitas anime di sana kuat," kata Hariman.
![]() |
Bisa dibilang saat ini industri bioskop di Indonesia sedang dalam masa pemulihan, hal ini setidaknya bisa diukur dari antusiasme penonton yang membagikan pengalaman. Sayangnya, pemulihan ini tidak bisa diukur dengan angka pasti karena tidak ada data valid resmi yang dirilis berkala.
Sampai saat ini Jabodetabek menjadi daerah terakhir yang kembali mengizinkan bioskop kembali beroperasi. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) per September 2020, baru 65 persen layar dari sekitar 2.200 di seluruh Indonesia yang telah beroperasi.
Mulanya, pembatasan kapasitas maksimal penonton di Jakarta menjadi yang paling kecil, yaitu dengan 25 persen. Peningkatan kapasitas mencapai 50 persen baru diizinkan dua pekan lalu.
Menurut Hariman, pembatasan itu menjadi salah satu alasan mengapa jumlah penonton yang hadir di bioskop Jakarta lebih sedikit ketimbang daerah lain. Alasan lain adalah banyak pecinta bioskop yang masih menonton lewat layanan streaming.
"Itu tidak masalah buat bioskop. Layanan streaming itu salah satu alternatif bagi orang untuk menonton di saat bioskop belum beroperasi di tengah pandemi," kata Hariman.
Hikmat tidak merasa heran bahwa banyak orang yang belum berani ke bioskop meski sudah ada protokol kesehatan. Terlebih Jakarta menjadi salah satu provinsi dengan kasus positif Covid-19 tertinggi di Indonesia.
![]() |
"Meski banyak keperluan dalam perfilman, saya belum mau ke bioskop. Saya tidak merasa ada urgensi untuk nonton di bioskop. Di masa pandemi ini banyak urusan yang lebih penting ketimbang kangen sama bioskop," kata Hikmat.
Hikmat pun menegaskan, pihak bioskop tak perlu berkecil hati dengan kondisi saat ini karena ia yakin bioskop akan tetap hidup mengingat tak semua pencinta film beralih ke layanan streaming.
Selain pengalaman sinematik yang berbeda antara keduanya, Hikmat menilai di bioskop ada ke aktivitas sosial yang tidak dirasakan ketika menonton via layanan streaming.
Hariman pun berpandangan senada. "Kami melihat layanan streaming sebagai alternatif untuk penonton menikmati film. Kami tetap percaya bioskop menawarkan sesuatu yang berbeda dengan platform streaming," katanya.
Di sisi lain, Hikmat melihat ada hikmah di balik pandemi yang membuat bioskop kembang kempis. Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pengusaha bioskop untuk melihat model bisnis.
Menurut Hikmat, saat ini kebanyakan pengusaha bioskop hanya bergantung pada kota-kota besar dan mal. Persebaran layar sangat tidak merata sehingga banyak daerah yang kekurangan layar, padahal ada potensi penonton.
"Perlu ada remodelling bisnis agar bioskop tidak hanya berkumpul di kawasan besar seperti Jabodetabek. Dengan keadaan seperti ini Jabodetabek yang banyak layar justru buka terakhir, kayak begini kan amsiong," kata Hikmat.
(adp/end)