"Saya menyatakan perang sama kalian yang membajak, sebar bajakan dan bangga nonton bajakan.
Sumpah demi anak saya, saya akan pakai segala resources saya buat masukin kalian ke penjara, atau setidaknya bikin hidup kalian ga nyaman."
26 Oktober 2020. Sutradara Angga Dwimas Sasongko mengumandangkan "perang" dengan para pembajak. CEO sekaligus pendiri Visinema itu murka usai mengetahui karyanya, Story of Kale: When Someone's in Love, dibajak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemarahan Angga patut dimaklumi. Film yang dibuat susah payah kala pandemi dan hanya dirilis di layanan streaming Bioskop Online yang masih di bawah naungan Visinema itu, masih juga dibobol pembajak.
Lihat juga:Review Film: The Trial of the Chicago 7 |
Padahal layanan streaming itu terbilang memudahkan pencinta film, salah satunya tak menuntut pengguna berlangganan hanya demi melihat koleksi di dalamnya berkat konsep Transactional Video On Demand (TVOD).
Meski menggunakan metode sekali bayar untuk menonton satu film, Bioskop Online memiliki sistem pelacakan terhadap pembajak. Sistem itulah yang membuat Angga tahu bahwa ada 'tikus' yang diam-diam menggerogoti karyanya.
Angga pun tak bisa tinggal diam. Setelah selama ini sineas hanya sekadar mengeluhkan pembajakan dan cenderung diam, ia mengambil langkah hukum untuk balas dendam kepada para pembajak.
![]() |
"Selama ini isu pembajakan gak pernah keluar dari dimensi imbauan atau peringatan. Belum ada pembajak yang dipidana maupun dituntut secara perdata," kata Angga melalui serangkaian twit.
Meski begitu, Angga sejatinya sadar bahwa menghilangkan pembajakan di Indonesia bak pungguk merindukan bulan.
Maka ketika upayanya menghadirkan Bioskop Online agar film Indonesia jadi lebih inklusif ternyata masih menjadi korban pembajakan, kemarahan Angga amatlah rasional.
Namun bukan hanya Angga yang berperang menghadapi 'hama' pembajak di dunia perfilman Indonesia. Layanan streaming MAXstream yang merupakan bagian dari Telkomsel, juga merasakan hal serupa.
GM Digital Experience Strategy Telkomsel Luthfi C. Wibisono menjelaskan bahwa MAXstream menggunakan sistem digital rights management (DRM) agar konten terlindungi.
"Hampir semua layanan streaming menggunakan DRM. Konten yang ditayangkan tidak bisa screen record, screen shot, dan mirroring ke smart tv yang tidak jelas karena rentan dibajak," kata Luthfi dalam wawancara virtual bersama CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Meski demikian, ia merasa berbagai sistem keamanan seperti tidak mempan karena pembajakan tetap ada.
![]() |
Bahkan menurutnya, ada pula pembajak yang merekam konten secara manual karena gagal membobol proteksi digital. Menghalalkan berbagai cara untuk membajak.
Padahal, kata Luthfi, banyak paket murah yang ditawarkan Telkomsel untuk bisa mengakses MAXstream. Beberapa di antaranya paket seharga Rp40 ribu dengan 30GB kuota MAXstream dan paket seharga Rp90 ribu dengan 50GB.
"Harga paket itu kan tergolong murah karena dapat kuota besar dan bisa berlangganan layanan streaming lain yang bekerja sama dengan MAXstream. Pelanggan itu kenapa harus nonton bajakan lagi?" kata Luthfi.
Setali tiga uang dengan Angga, Luthfi merasa bahwa pembajak selalu ada dan selalu menemukan cara untuk membajak.
Bila dulu konten bajakan berupa cakram padat (CD) yang dijual pada lapak-lapak di Pasar Glodok, kini konten bajakan tersedia di situs streaming ilegal.
Kini, Angga sudah melaporkan orang-orang yang membajak film Keluarga Cemara dan Story of Kale dari Bioskop Online ke Mabes Polri. Tersangka pembajak Keluarga Cemara sudah ditangkap pada September lalu.
"Pembajak Keluarga Cemara berada di Jambi. Dia bekerja sama dengan kakaknya sebagai web developer dan host di Kamboja, yang ini belum ditangkap. Mereka ini mendapat banyak duit dari iklan-iklan judi," kata Angga kepada CNNIndonesia.com, baru-baru ini.
Sementara itu, terduga pembajak film Story of Kale masih dalam pengejaran dan sudah masuk daftar pencarian orang (DPO). Angga percaya dengan niat kepolisian untuk menegakkan hukum dan berharap bergerak lebih cepat.
![]() |
Berdasarkan survei dari perusahaan riset dan analisis data film, YouGov, yang dipublikasikan pada Desember 2019, sebanyak hampir dua per tiga atau 63 persen konsumen daring atau online di Indonesia menonton situs streaming ilegal atau situs torrent.
Para pengguna layanan ilegal tersebut menggunakan berbagai media, mulai dari situs hingga aplikasi tertentu. Bahkan 44 responden berusia 18 hingga 24 tahun mengaku menggunakan layanan ilegal tersebut.
Praktik pembajakan turut beradaptasi mengikuti konten yang dibajak dan tidak kunjung usai sejak dulu. Pemblokiran 1.130 situs bajakan yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sampai Desember 2019 pun belum jua cukup.
Lihat juga:Review Serial: The Queen's Gambit |
Kominfo dan pembajak pun bak kejar-kejaran dalam arena yang tak berujung. Terus berulang dan tak juga mencapai babak final.
Pengamat film Hikmat Darmawan tidak heran dengan fenomena antara Kominfo dengan pembajak. Pasalnya, kurang lebih dalam 10 tahun belakangan hanya pemblokiran yang dilakukan tanpa menggunakan cara-cara lain untuk mengalahkan pembajak.
"Memang tindak pembajak harus dilarang dan dipersulit, tetapi paling diharapkan sebenarnya adalah penegakan hukum. Enggak apa kejar-kejaran antara penegak hukum dengan pembajak," kata Hikmat.
![]() |
Hikmat sendiri mendukung pelaporan yang dilakukan Angga agar pembajak benar-benar kapok, bukan hanya kejar-kejaran dengan blokir situs tanpa garis finis.
Selain penegakan hukum, di saat yang bersamaan juga perlu ada edukasi serta perubahan perilaku penonton yang mengakses situs bajakan.
Dengan begitu, secara perlahan akan tumbuh rasa memiliki terhadap konten yang ditonton agar bersedia membayar. Bila tidak ada perubahan dari penonton, maka konten bajakan di mana pun akan selalu memiliki penonton.
"Kalau mau realistis, pembajakan itu akan selalu ada. Dan kalau mau terus terang, tidak ada cara efektif yang bisa menghilangkan pembajakan. Tetapi yang penting adalah bagaimana penegakannya," kata Hikmat.
Sementara itu, Angga juga sadar bahwa pembajakan tidak akan pernah hilang karena bagian dari ekosistem dalam berbagai sektor. Namun, praktik pembajakan bisa dilawan, terlebih bila instrumen hukum terhadap pembajakan dibuat lebih progresif.
"Kalau mau lebih progresif berikan keleluasaan kepada kepolisian, karena saat ini pembajakan delik aduan. Kalau ada yang jual CD bajakan di depan kantor polisi gak bisa ditangkap kalau enggak ada laporan," kata Angga.
Menonton atau mengunduh film/konten bajakan berpotensi menyusupkan malware ke perangkat pengguna, serta melanggar pidana sesuai Pasal 113 ayat (3) UU RI terkait Hak Cipta dengan ancaman sanksi paling lama empat tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
(adp/end)