Ilustrasi situs streaming ilegal. (iStockphoto/scanrail)
Jakarta, CNN Indonesia --
Pada awal 2020, situs layanan streaming ilegal IndoXXI menyatakan berhenti beroperasi dan menggegerkan dunia maya. Betapa tidak, situs itu bak surga para penikmat film streaming secara gratisan meski ilegal. Ia menjadi sahabat para pencari film ilegal, dan musuh bagi para pendukung hak cipta.
Meski begitu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan masih banyak situs film ilegal serupa dengan IndoXXI. Bahkan pemblokiran 1.130 situs bajakan yang dilakukan Kominfo hingga Desember 2019 tak membuat pelaku dunia streaming ilegal gentar.
Salah satu yang tak gentar adalah pria berusia 30-an tahun yang kerap disapa dengan Gunawan. Di tengah upaya Kominfo mengancam situs ilegal, para sineas yang menyatakan perang terhadap pembajakan, ia justru menceburkan diri ke sisi gelap bisnis streaming di Indonesia itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gunawan bersama dua orang temannya justru membuat aplikasi bioskop ilegal pasca 'raksasa' IndoXXI tak beroperasi. Mereka mengkhususkan diri dalam menyediakan konten drama Korea secara ilegal. Gunawan dan teman-temannya sadar betul dengan apa yang mereka kerjakan.
"Saya tahu [ini ilegal]," kata Gunawan kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Gunawan mengaku ia diajak oleh salah satu temannya untuk menjalankan bisnis ini. Si temannya itu terinspirasi dari kekasihnya yang merupakan penggemar drama Korea dan selalu mengakses melalui situs digital. Sang teman Gunawan yang merupakan lulusan Teknik Informatika itu pun melihat peluang bisnis dari sana.
Apalagi, momentum pandemi membuat bisnis yang sudah Gunawan cs jalankan sejak awal 2020 ini meroket. Kebijakan lockdown dan bekerja dari rumah demi mencegah penyebaran Covid-19 nyatanya ikut mengerek jumlah pengguna aplikasi "drakorindo" yang mereka ciptakan.
Momen pandemi dan kebijakan work from home serta lockdown meningkatkan pengguna streaming. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Secara bersamaan pula, Gunawan menjadi korban dari kebijakan pengurangan pegawai yang diberlakukan oleh kantornya akibat pandemi. Jadinya, Gunawan pun semakin tenggelam dalam bisnis ini sebagai satu-satunya penghasilan meski ia sebut tak seberapa dibanding gajinya kala masih menjadi pegawai swasta.
"Uang tambahan itu salah satunya," katanya kala ditanya motif mendasar ia berani menjalankan bisnis ilegal ini. "Kedua, saya belum pernah merambah ini. Saya suka sesuatu yang baru,"
"Kalau dibilang untung enggak untung, ya saya untungnya masih ada sampingan seperti ini. Menikmati saja yang ada. Cuma untuk soal pendapatan dari aplikasi ini enggak lebih besar dari yang sebelumnya, karena ini masih merintis," lanjutnya.
Gunawan dan gengnya memilih fokus pada drama dan film Korea, Jepang, juga China. Menurut mereka, penggemarnya lebih banyak dan 'setia' dibanding karya dari Indonesia maupun Hollywood. Penggemar drama Korea, apalagi yang sedang berjalan, akan lebih kontinu hadir di aplikasi mereka.
"Saya bilang ke teman saya waktu di awal, 'kita boleh bisnis seperti ini asal satu: jangan film Indonesia,'" kata Gunawan. "Saya masih ada nasionalisme juga sih, lagian saya pikir buat apa juga [bajak] film Indonesia? toh nanti juga bakal muncul di televisi,"
Selayaknya bisnis pada umumnya, mereka juga melakukan promosi untuk meningkatkan pengguna. Caranya pun banyak. Mulai dari promo dari mulut ke mulut, 'endorsement' ke teman-teman mereka yang memiliki pengikut banyak di media sosial, hingga mematok harga yang terbilang murah.
Gunawan dan teman-temannya hanya mematok Rp5 ribu per bulan untuk pengguna yang ingin menjadi "member premium".
Harga itu jelas di bawah biaya langganan layanan streaming legal yang ada di Indonesia, misalnya Viu sekitar Rp10 ribu per pekan hingga Rp30 ribu per bulan, Bioskop Online sebesar Rp5-10 ribu per 48 jam, Klik Film sebesar Rp10 ribu per 7 hari, apalagi Netflix sebesar Rp54-186 ribu per bulan.
Cerita Gunawan dan streaming ilegal menarik pengguna dikisahkan di halaman selanjutnya..
Tarik Massa
Bagi pelanggan tipe "premium", Gunawan menjanjikan kecepatan akses yang lebih dibanding "free member" dan bebas iklan serta bisa mengunduh drama Korea favorit mereka sesuka hati. Apalagi, pembayaran bisa dilakukan melalui banyak dompet digital yang sudah awam di tengah masyarakat.
Sedangkan bagi "free member", Gunawan tak banyak menawarkan kemudahan selain sama-sama bisa mengakses seluruh konten dengan mereka yang "premium". Iklan pun masih ada dan fasilitas mengunduh tak bisa sesuka hati.
"Jumlah yang premium ada sekitar 2 ribu orang, jadi kira-kira Rp10 juta sebulan. Itu baru premium," kata Gunawan. Angka premium itu pun hanya 1 persen dari total penggunanya.
"Total pengguna saya itu ada 200 ribu. Angka itu saja ada pas kami sering off [tidak beroperasi]," katanya. "Kami juga pernah sampai dua juta kali tayang per film. Sehari tuh 100 pengguna yang mengakses sudah pasti ada," ia menambahkan.
Gunawan mengaku ia dan teman-temannya tak mempermasalahkan 99 persen pengguna mereka adalah kaum gratisan. Menurutnya, itu adalah bagian dari strategi mereka untuk menarik massa. Lagipula, mereka masih mendapatkan sedikit pemasukan dari iklan berbasis mesin pencarian yang kerap 'nongol' di aplikasi mereka.
Pada awal 2020, situs bioskop online ilegal IndoXXI menyatakan berhenti beroperasi dan menggegerkan dunia maya. (IndoXXI)
"Premium tuh cuma buat menarik [pengguna] doang, emang lebih tinggi layanannya tapi pasti orang inginnya gratisan," kata Gunawan. "Enggak masalah harga rendah yang penting pengguna saya banyak. Dan semakin banyak, kalo mereka percaya sama kami, Rp5 ribu itu enggak terasa,"
Gunawan mengakui bahwa pengguna mereka masih kecil. Bahkan ia menyebut, situs aplikasi yang menjadi "rujukan" dirinya saja sudah memiliki 5 juta pengguna dan bisa menampilkan banyak iklan, terutama dari situs judi yang ia sebut bisa seharga setidaknya Rp20 juta per banner.
Meski disebut kecil, pengguna aplikasi dan situs bajakan milik Gunawan sejatinya terbilang menggambarkan pengguna layanan streaming ilegal yang masif di Indonesia.
Berdasarkan survei dari perusahaan riset dan analisis data film, YouGov, yang dipublikasikan pada Desember 2019, sebanyak hampir dua per tiga atau 63 persen konsumen daring atau online di Indonesia menonton situs streaming ilegal atau situs torrent.
Para pengguna layanan ilegal tersebut menggunakan berbagai media, mulai dari situs hingga aplikasi tertentu. Bahkan 44 responden berusia 18 hingga 24 tahun mengaku menggunakan layanan ilegal tersebut.
Berdasarkan survei dari perusahaan riset dan analisis data film, YouGov, yang dipublikasikan pada Desember 2019, sebanyak hampir dua per tiga atau 63 persen konsumen daring atau online di Indonesia menonton situs streaming ilegal atau situs torrent. (Istockphoto/ Tero Vesalainen)
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu pernah bertanya kepada sejumlah pengguna layanan streaming ilegal tentang alasan mereka masih memilih situs tersebut, mulai dari alasan ilegal lebih cepat dibanding yang legal, hingga masalah biaya.
"Kalau yang pakai IndiHome kayak saya, terus mau langganan Netflix, masa saya harus bayar paket data lagi untuk streaming? Do we have to pay that much?" kata Fredi, salah satu pengguna layanan streaming ilegal.
'Masalah' Fredi dan mereka yang memiliki problem serupa pun dijawab oleh Gunawan dan teman-temannya.
"Kami setahun dulu merintis dan enggak masalah terseok-seok. Kalau sudah banyak pengguna dan nyaman sama kami, duit mah enggak usah dicari. Iklan tinggal datang. Sama kayak YouTube saja, bedanya saya tinggal unggah film," kata Gunawan.
Saling Gulung, Tetap Lanjut
Meski pada faktanya banyak orang yang masih menggunakan layanan streaming ilegal, persaingan antar pelaku bisnisnya juga tetap terjadi. Gunawan pun mengaku menjadi korban dari situs ilegal yang lebih besar.
Kisah saling jegal antar layanan streaming ilegal ada di halaman selanjutnya...
Persaingan panas itu terjadi bahkan nyaris setiap pekan. Ketika di awal-awal menjalankan layanan streaming ilegal dan mendulang banyak penonton baru, Gunawan dan teman-temannya kerap mendapatkan serangan DDOS yang melumpuhkan server mereka.
"Tiga bulan awal itu kami diserang oleh sesama ilegal," kata Gunawan. "Mereka menyerang bukan karena iri, menurut saya karena bersaing jam tayang,"
"Misal ada drama yang hit, saya dan dia tayang bareng dan pengguna dia lebih banyak sehingga akses jadi lambat. Pengguna dia yang punya aplikasi saya ya akhirnya banyak yang pindah ke saya," lanjutnya.
Gunawan dan teman-temannya yakin bahwa serangan itu datang dari layanan streaming lebih besar dengan jumlah pengguna hingga jutaan akun. Hal ini karena menurut Gunawan, untuk sekali serangan DDOS, setidaknya pelaku harus memiliki server yang besar dan bisa memakan biaya puluhan juta rupiah.
Untuk menyiasati serangan itu, Gunawan dan kawan-kawan kerap mengganti domain dan server. Dan demi menyiasati harga server yang bisa mencapai belasan juta rupiah tiap bulan, mereka kerap menggunakan masa percobaan penggunaan server baru yang gratis.
Sehingga, mereka kerap bergonta-ganti server selain karena menghindari serangan tetapi juga memanfaatkan promo gratis. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.
Ketika di awal-awal menjalankan layanan streaming ilegal dan mendulang banyak penonton baru, Gunawan dan teman-temannya kerap mendapatkan serangan DDOS yang melumpuhkan server mereka. (Istockphoto/ South_agency)
"Sesama ilegal itu saling mendukung dan menggulung sebenarnya," kata Gunawan sambil tertawa meskipun juga mengakui ia kerap stres menghadapi berbagai serangan itu yang juga membuat aplikasinya kehilangan banyak pengguna.
Terlepas dari permasalahan itu dan status serta risiko yang mengintai, Gunawan tampaknya masih belum berminat berhenti dari dunia streaming ilegal ini.
"Saya akui ini risikonya tinggi. Tapi kalau kau cari di Playstore, itu kan kebanyakan ilegal. Harusnya mereka juga kena dong, tapi mereka sampai sekarang aman," kata Gunawan.
"Teman saya juga bilang, data digital kan enggak bisa 100 persen aman. Jadi yang penting kami saling percaya dan sama-sama melindungi saja," lanjutnya.
Ketika ditanya lebih dalam alasan untuk tetap lanjut dalam bisnis ini, Gunawan sempat terdiam. "Saya di sini tuh lebih senang dengan interaksinya, sumpah,"
"Interaksinya di sini tuh karena permintaan dari penggunanya besar. Selalu dinantikan. Enak rasanya," kata Gunawan. "Dan ada pengguna yang membela kami, misal ada yang komplain tapi ada user lain yang membela kami dari komplain itu,"
Mini Infografis 5 Film Teratas di Layanan Streaming kala Pandemi. (CNNIndonesia/Basith Subastian)
Gunawan pun menjawab mantap ketika pertanyaan akankah ilegal masih tetap ada. "Enggak bakal ada penjual kalau enggak ada pembeli," katanya.
"Saya enggak melarang ke legal, malah bagus. Tapi sesama legal saja persaingannya tinggi, dan enggak ada yang memiliki semua konten dalam satu situs. Kembali ke pribadi masing-masing, itu pilihan orang,"
"Pengguna saya juga ada yang langganan di legal dan langganan juga di saya. Pernah mengobrol juga dengan saya, dan ia mengakui kalau drama yang ia cari enggak ada di legal, ya ia cari di saya."
"Orang sudah bayar sekali ya biasanya enggak mau bayar dua kali," kata Gunawan. "Orang Indonesia kan ya kau tau sendiri, lebih senang gratisan. Tapi kalau dibilang gratisan juga enggak sih, mereka kan nonton pakai kuota."