Jakarta, CNN Indonesia --
Anda harus benar-benar seorang penggemar Ghostbusters untuk bisa menyelam dan menikmati arus dari Ghostbusters: Afterlife selama 125 menit di bioskop.
Bila Anda bukan seorang penggemar, apalagi belum pernah menyaksikan film Ghostbusters I pada 1984 dan sekuelnya pada 1989, percayalah Anda hanya akan mengambang-ambang dan merasa film ini 'garing'.
Sutradara Ghostbusters Afterlife, Jason Reitman, sempat mengibaratkan film ini sebagai menu andalan keluarga. Pengibaratan itu tidaklah salah mengingat ayahnya, Ivan Reitman, adalah sutradara juga penulis dari Ghostbusters I (1984) dan II (1989).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selayaknya ketika sebuah acara keluarga besar diadakan, akan ada perbincangan atau menu makanan yang hanya diketahui juga dirindukan oleh mereka yang tergabung di dalamnya.
Bila Anda, bukan bagian dari keluarga itu atau baru akan berkenalan dengan mereka, jelas masuk dalam acara tersebut akan terasa amat canggung. Itulah yang terjadi dengan Ghostbusters: Afterlife.
Jelas film ini adalah sebuah reuni keluarga besar (baca: penggemar Ghostbusters) yang dirindukan. Rindu akan hal-hal akrab yang sudah diketahui dan terasa hangat saat dibahas kembali, atau beragam inside jokes yang bertebaran di sana-sini.
Apakah itu hal yang salah? Tidak. Tujuan Jason Reitman rasanya sudah jelas ketika mengungkapkan cara membangkitkan kembali Ghostbusters yang telah mati suri selama 32 tahun.
"Apa yang kami inginkan adalah membuat sebuah pengalaman nostalgia secara utuh, sesuatu yang membuat penonton kembali ke seperti apa rasanya melihat film asli pada 1984," kata Reitman dalam catatan produksi film ini.
"Jadi, kami menggunakan semua jenis teknik yang digunakan ayah saya dan krunya pada tahun '84. Ini mestinya terasa seperti sebuah resep keluarga lama, ya karena memang seperti itu." lanjutnya.
Saya pun harus mengatakan bahwa re-cook yang dilakukan Jason bisa dibilang berhasil. Memang tidak mungkin terasa sama persis, namun tujuan nostalgia itu bisa saya rasakan, dan juga mereka yang mengikuti Ghostbusters.
Hal itu jelas terasa dari berbagai elemen film 1984, dan sebagian film 1989, yang digunakan Jason Reitman dalam Afterlife.
Review Ghostbusters: Afterlife lanjut ke sebelah..
Ambil contoh segala peralatan para Ghostbuster, tumpukan buku satu baris, pemanggang roti, iklan Stay Puft Marshmallow, hingga pengambilan gambar ketika Ecto-1 keluar dari garasi.
Termasuk, cara Jason Reitman menggunakan alur cerita juga narasi dalam Afterlife yang mengadopsi premis dalam dua film asli.
Seperti keberadaan adegan penjara, kemudian candaan-candaan ice-breaker, hingga kalimat-kalimat ikonis yang ada pada film 1984.
Semua itu diulang kembali dan jelas mengingatkan akan momen Ghostbusters pada dekade '80-an, namun dengan kualitas gambar yang lebih baik dan tidak terasa menyaksikan film daur-ulang doang.
Meski begitu, Jason Reitman rasanya terlalu fokus untuk membangkitkan kenangan di masa lalu beserta aspek visualnya alih-alih memperbaiki kualitas cerita juga penceritaan kisah Ghostbusters.
[Gambas:Photo CNN]
Padahal, Afterlife bisa berpeluang lahir sebagai sebuah film waralaba Ghostbusters dengan kualitas sinematik yang baru. Bukan hanya sekadar film yang dibuat untuk mengenang masa lalu dan kepentingan bisnis semata.
Hal itu akan terasa ketika Afterlife dijajal oleh mereka yang amatir akan Ghostbusters. Ceritanya terasa lemah, 'garing', banyak hal yang mengundang banyak tanya, hingga terasa membosankan. Cerita baru seru ketika sudah mulai masuk babak konflik dan resolusi.
Ghostbusters: Afterlife pun tampaknya menjadi uji coba Columbia Pictures (Sony Pictues) dan Ghost Corps untuk melihat respons pasar akan obsesi mereka: membuat semesta Ghostbusters.
Sebenarnya sah-sah saja memiliki obsesi membuat semesta, apalagi ide Ghostbusters III yang dipikirkan oleh Ivan Reitman dahulu kala sudah membahas soal semesta paralel.
Belum lagi tren yang tengah hit di kalangan studio-studio besar Hollywood, memiliki film waralaba dengan banyak dunia dimensi. Segala cerita film dibuat versi semestanya.
Namun penggarapan semesta dari sebuah waralaba itu semestinya juga mempertahankan kualitas cerita dari film.
Bukan hanya sekadar menyambung-nyambungkan apa yang sudah ada, tetapi bagaimana membuat penonton amatir sebagai pasar baru bisa ikut menyusuri petualangan tanpa harus tersesat apalagi enggan melanjutkan.
Penonton saat ini pun berbeda dibanding tiga dekade lalu. Kini penonton lebih kritis dan akan benar-benar memperhatikan apakah sebuah film cukup layak untuk mereka tonton di bioskop.
Mengingat pemikiran "toh semua akan ada di streaming pada akhirnya" yang kini sudah menjamur di kalangan pencinta film, semestinya pihak studio juga sineas sudah waktunya untuk benar-benar memperhatikan kualitas cerita film waralaba dan bukan cuma gimik demi cuan belaka.
[Gambas:Youtube]