Jakarta, CNN Indonesia --
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB ketika sejumlah pria seliweran di pelataran parkir Gambir Expo Kemayoran yang menjadi lokasi gelaran Synchronize Fest 2022 hari kedua, Sabtu (8/10).
Di tengah cahaya lampu jalanan yang remang dan ingar bingar musik dari kejauhan, seorang pria menghampiri beberapa orang dengan tanda pengenal festival musik yang beken di kalangan anak muda metropolitan tersebut.
"Mas ayo mas, ada lebihan tiket enggak? Saya beli Rp350 ribu deh," kata pria berusia sekitar 30 tahunan itu kepada salah satu orang dengan tanda pengenal acara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masa sampeyan enggak ada lebihan (tiket) mas, panitia kan 'njenengan?" lanjut pria itu dengan menggunakan logat Arekan asal Jawa Timur.
Pria logat Arekan tersebut bukan calon penonton yang mencari tiket festival musik yang laris manis sejak beberapa waktu lalu itu. Ia adalah satu dari sekian calo yang berkeliaran di sekitar arena luar festival musik hit ibu kota tersebut.
Usai mencoba sana-sini untuk mendapatkan tiket dan menjualnya kembali, pria yang sebut saja bernama A itu kemudian bersedia berbincang singkat dengan kami.
Selama perbincangan, sorotan matanya tetap awas menyusuri suasana sekitar Gambir Expo yang temaram demi mencari peluang rezeki. Kali saja, ada yang ingin masuk festival tapi kehabisan tiket saat momen penjualan resmi.
A mengaku ia dan kawan-kawannya mencari sendiri tiket untuk kemudian dijual kembali. Bisanya, tiket-tiket tersebut merupakan "sisaan", entah karena tidak jadi datang atau alasan lainnya.
"Ya biasanya anak-anak [calo lainnya] cari di lapangan sendiri. Mencari sisaan tiket pengunjung yang enggak jadi datang terus dijual murah," kata A yang sudah menekuni bisnis putar tiket ini sejak 2005.
 Ilustrasi. Ada banyak cara penonton mendapatkan tiket konser, calo adalah salah satunya. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
"Kalau tidak, ya limpahan-limpahan tiket hasil giveaway, kuis, hadiah... Itu mereka jual murah nantinya. Tapi biasanya anak-anak juga cari-cari sendiri," lanjutnya.
"Kami pantengin itu kan media sosial apa, segala macem. Canggih zaman sekarang mah. Jadi kami juga ikuti konser apa nih yang kira-kira ramai," kata A.
Menurut pengalaman A, ia dan teman-teman calonya sudah memetakan dan mengklasifikasi konser-konser di ibu kota berdasarkan peluang untuk mengeruk cuan.
Konser grup musik asal Korsel, diakuinya menjadi salah satu pertunjukan musik yang selalu menjadi lahan basah bagi setiap calo. Untuk konser itu, mereka tak sungkan keluar modal lebih besar.
"Istilahnya anak-anak itu kalau pake modal, ya pakai modal juga, biasanya di konser-konser Korea. Kayak contohnya konser SEVENTEEN kemarin di BSD, harga tiketnya Rp2 juta atau Rp3 juta, nanti bisa kita jual Rp9 juta," kata A antusias.
Keberadaan A dan teman-teman calonya sempat menjadi sorotan kala penggemar SEVENTEEN meluapkan kekecewaan mereka terhadap promotor Mecimapro.
Dalam serangkaian kritik, salah satunya soal keberadaan calo dan tudingan permainan dalam penjualan tiket. Tudingan itupun lengkap disertai video colongan berisi ucapan seorang diduga calo. Namun Mecimapro membantah bekerja sama dengan calo.
"Itu kami beli sendiri online dari platform-platform penjualan tiket, atau semacamnya. Karena kalau konser Korea, kami udah tahu bakal laku segini-segini, pasti laku," kata A soal tiket-tiket konser Korea yang jadi incaran mereka.
 llustrasi. Menurut pengakuan para calo, konser Korea adalah kesempatan mendapatkan cuan lebih banyak dibanding jenis konser lainnya. (CNNIndonesia/Adi Ibrahim) |
Dalam berbisnis, A menyebut mereka bekerja mandiri secara individu. Namun soal jadwal konser, ada seorang rekan sejawat yang rutin mengecek dan menyebarkannya ke sesama calo.
Serupa tapi tak sama, seorang calo yang sebut saja bernama B punya cara lain dalam berbisnis tiket di luar jalur resmi itu. Saat kami berbincang dengan B pada gelaran hari ketiga Synchronize Fest 2022, ia mengaku masih mengandalkan informasi dari mulut ke mulut.
B yang telah berkecimpung dalam bisnis percaloan sejak 1985 ini mengaku mendapatkan informasi soal konser dan acara bertiket penonton dari rekannya yang tergabung dalam sebuah grup media sosial khusus calo.
"Ya dari mulut ke mulut saja. Misal anak-anak bilang, 'Ini jalan ke sana', ya sudah, jalan ke sana. (Ada) grup WhatsApp-nya," kata pria paruh baya tersebut sembari menunggu calon pelanggan kala lepas petang hari terakhir Synchronize Fest 2022.
"Jadi enggak musik saja. Misal ada pertandingan bola ke Pakansari, nah itu kan enggak boleh ada penonton. Kalau misal ada penonton ya pasti kami ke sana," kata B yang memiliki logat Batak tersebut.
Lanjut ke sebelah...
Namun B menyebut, ia lebih pragmatis dalam menjalani bisnis putar tiket sekunder ini. Ia tak memaksakan diri bila Dewi Fortuna sedang tak menemaninya. Apalagi bila ia merasa lelah, maka balik kanan akan jadi pilihan.
Menjalani pekerjaan sebagai calo lebih dari tiga dekade, B mengaku tak pernah mengalami konfik pada rekan sesama calo ketika bersaing pelanggan.
"Ya ibaratnya masing-masing sudah ada rezekinya sendiri lah," kata B. "Misalnya bertiga nih jual tiket, terus ada penonton, saya samper itu penonton, terus dia bilang iya, ya itu hak saya, yang dua lainya harus mengerti,"
"Kerja samanya juga ada. Jadi intinya enggak ada saling ribut, saling pukul begitu lah, enggak ada," kata B.
Ada Konser, Ada Calo
Keberadaan calo dinilai akademisi Manajemen Konser dan Festival Universitas Pelita Harapan (UPH), Yosie Revie Pongoh, tidak bisa dipisahkan dari industri konser dan pertunjukan karena sudah mengakar sejak lama.
"Saya rasa tidak hanya di Indonesia. Calo, scalpers, atau apapun itu, di negara-negara lain juga banyak. Pun calo bukan hanya musik, ada transportasi, dan sebagainya," kata Revie saat berbincang dalam kesempatan berbeda.
"Kalau calo yang dalam rangka menawarkan jasa, untuk memudahkan pelanggan, ya sebenarnya tidak ada masalah," lanjutnya.
"Yang jadi masalah itu, kalo di musik, ketika calo-calo itu melakukan penipuan. Atau ketika tiket tiba-tiba habis dalam jumlah yang besar, itu kan tidak adil untuk pelanggan. Bahkan, ada yang sebelum tanggal resmi penjualannya itu tiket sudah habis," kata Revie.
[Gambas:Video CNN]
Setali tiga uang dengan Revie, pengamat musik Wendi Putranto menganggap calo dalam konser sebagai pihak ketiga yang cuma ingin ambil keuntungan di tengah tingginya permintaan tiket konser.
"Calo itu suka atau enggak suka ya enggak akan bisa diberantas. Khususnya untuk konser-konser internasional, karena di Indonesia sendiri fenomena itu sudah ada dari tahun '80-an," kata Wendi dalam kesempatan terpisah.
Menurut pengalaman Wendi yang juga terlibat dalam bisnis pertunjukan ini, ada dua jenis calo yang pernah ia temui. Pertama, calo murni. Yakni, calo yang membeli tiket sedini mungkin untuk dijual dengan harga lebih tinggi dari harga resmi.
"Tapi ada juga promotor yang memang mengalami kondisi poor ticket sales, dalam artian konsernya ini kurang laku. Jadi dia harus bekerja sama dengan calo untuk bisa mendorong penjualan tiket," kata Wendi soal jenis calo kedua.
"Dengan calo, mereka bisa jual setengah harga tanpa mendapatkan komplain dari pembeli tiket," kata Wendi.
Wendi pun menilai calo bukan jadi persoalan bagi promotor. Sebab, promotor idealnya lebih mengutamakan pelayanan terbaik bagi pembeli tiket. Selain itu, ia menilai sampai saat ini, tak ada promotor bangkrut karena calo.
Pintar Hadapi Calo Nakal
Meski begitu, menurut Wendi, penonton juga mesti punya siasat saat menghadapi calo nakal yang melambungkan harga tiket tidak wajar. Salah satunya, beli tiket saat pertunjukan sudah dimulai.
"Jalani dulu aja konsernya 1-2 lagu, nanti sampai lagu ketiga baru beli di calo. Pasti harganya akan turun, konsekuensinya ya ketinggalan beberapa lagu di awal," kata Wendi.
"Karena dia [calo] masih ada sisa tiket yang harus dijual, tapi dia merugi karena ada modal yang dikeluarkan sebelumnya," lanjutnya.
Sementara itu, Revie mengatakan beberapa konser di luar negeri sudah menerapkan lisensi terhadap calo untuk mengurangi dampak kerugian calo nakal. Biaya yang agak lebih tinggi dari calo pun dianggap sebagai biaya jasa mengantre.
 Ilustrasi. Beberapa konser di luar negeri sudah menerapkan lisensi terhadap calo untuk mengurangi dampak kerugian calo nakal. (REUTERS/EDUARDO MUNOZ) |
"Di gelaran olahraga seperti baseball dan lain sebagainya itu, mereka bebas berkeliaran tapi dengan lisensi itu. Jadi calon pembelinya bisa melihat itu supaya enggak tertipu," kata Revie.
"Jadi biasanya itu untuk orang-orang yang datang on the spot, mau duduk di tempat duduk tertentu tapi tiketnya sudah habis," lanjutnya.
Menurut Revie, pekerjaan calo kadung dipandang publik "dari sisi yang sangat negatif" lantaran keberadaan oknum yang menyalahgunakan status "calo" untuk menipu, menjual tiket kelewat tinggi, dan sebagainya.
"Sehingga publik dengan gampang menilai kalau pasti ada 'mafia tiket' di balik orang-orang yang bekerja sebagai calo," kata Revie. "Tapi kan enggak bisa kita pukul rata kalau semuanya kayak begitu. Permintaannya pun masih ada kan dari penonton? Ya secara objektif sajalah lihatnya."