Demonstrasi untuk Siapa?

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 16 Nov 2016 12:24 WIB
Aksi yang dilakukan massa pada saat ini agak berubah dengan masa-masa sebelumnya. Mengapa?
Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino
Jakarta, CNN Indonesia -- Belum lama ini, tepatnya pada 4 November 2016, Jakarta dikejutkan oleh demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok orang karena sulitnya menuntut Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ke ranah hukum atas apa yang sebelumnya ia lakukan, yakni dugaan menistakan Al-Quran, kitab suci dari umat muslim.

Sebelumnya Ahok telah meminta maaf, tapi beberapa organisasi masyarakat (ormas) mendesak agar diselesaikan lewat jalan hukum. Pada hari terjadinya demonstrasi, aparat telah siap dengan strateginya. Media juga sudah secara terus-menerus mengingatkan akan terjadinya demonstrasi ini dengan informasi perkiraan peserta demonstrasi yang berbeda-beda, yakni 50 ribu dan 100 ribu orang.

Tidak heran dengan pemberitaan yang begitu masif terkait akan terjadinya demonstrasi ini turut mengundang berbagai media dari luar Indonesia. Namun sebenarnya untuk siapa demonstrasi ini dilakukan?

Aksi yang dilakukan massa pada saat ini agak berubah dengan masa-masa sebelumnya. Apabila kita melihat ke aksi atau demonstrasi yang menggulingkan Orde Lama ataupun Orde Baru, aksi dilakukan untuk menggulingkan mereka secara langsung. Namun saat ini, aksi justru tidak bergerak secara langsung, terlebih dengan begitu kuatnya persiapan dari aparat dan jarangnya hadir peserta aksi yang banyak.

Aksi pada masa kini seringkali menjadi pemantik isu bagi media. Medialah pada akhirnya yang mendesak pemerintah itu sendiri.

Tidak jarang pula mereka yang mengadakan aksi mengundang media terlebih dahulu. Aksi pun dikemas dalam bentuk yang unik.

Salah satu aksi yang lumayan sering dilakukan untuk menuntut beberapa hal ke pemerintah ialah aksi diam dalam Kamisan. Kamisan menuntut agar pemerintah tidak lupa akan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di masa lalu, salah satunya adalah Kasus Munir yang hingga kini masih terus hangat di media.

Aksi Kamisan terkenal dengan keunikannya, yakni para peserta menggunakan pakaian hitam dan payung hitam. Aksi lain yang sempat menuai kontroversi melalui media ialah aksi yang dilakukan kaum lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) dengan membawa simbol mereka, yakni warna pelangi, dalam atribut aksinya.

Kasus diperkosa dan meninggalnya Yuyun, seorang gadis berusia 13 tahun, juga sempat mengundang sejumlah orang untuk berpartisipasi dalam sebuah aksi yang dilakukan di Bandung dengan membawa lilin dan peluit. Peluit ditiup sebagai tanda darurat kekerasan seksual yang hadir di Indonesia kepada perempuan. Media pun secara intens terus menayangkan kembali isu terkait Yuyun tak lama setelah kepergiannya.

Whoever controls the media controls the mind. Salah satu kutipan dari Jim Morrison, seorang musisi, yang cukup tenar, serta menggambarkan bagaimana posisi media yang mampu dengan kekuatannya mengkontrol apa yang seharusnya dianggap penting oleh masyarakat dan menggiring perspektif masyarakat tentang suatu fenomena.

Posisi media yang sebegitu kuat disadari oleh masyarakat. Luas dan pentingnya terpaan dari media kepada masyarakat menjadi celah bagi mereka yang merasa suaranya perlu didengar.

Dalam beberapa kasus, mereka, masyarakat, bermasalah dengan pemerintah tapi sulit untuk menyentuhnya secara langsung. Salah satunya ialah ketika permasalahan penggusuran hadir di Jakarta dan Bandung.

Penggusuran yang dilakukan dalam sejumlah tempat tidak sepadan dengan ganti rugi yang ditawarkan. Di Jakarta, aksi dilakukan beberapa kali, salah satunya ialah dengan membawa lilin di Bundaran HI. Di Bandung sendiri, di tengah-tengah aksi yang dilakukan sempat ada semacam teater atau drama yang hadir.

Mereka tertangkap media dan tersiarkan. Aksi massa lainnya yang sebenarnya tidak memiliki massa yang banyak tapi mampu tembus ke media dan menjadi perbincangan hangat ialah aksi yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Papua menuntut ditegakkannya hak asasi manusia di tempat asal mereka. Mereka mampu menyentuh pemerintah melalui media. Dalam hal ini, media pun mampu menjalankan perannya untuk give the voice to the voiceless atau memberikan suara bagi mereka yang tidak bisa untuk bersuara.

Pemerintah memang seringkali menjadi salah satu pihak yang tak tersentuh. Namun masyarakat tetap dapat bersuara melalui media dan menuntut kepada pemerintah ketika ada yang menurutnya tidak adil. Media juga menjalankan dua dari sembilan elemen jurnalistik yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yakni loyalitas kepada masyarakat dan sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER