Jakarta, CNN Indonesia -- Perseteruan senantiasa ada selalu pada kaidah cinta dan kebencian. Lalu mau apa hidup, kalau cuma saling bunuh, sekalipun ketika ada cinta maupun tak ada cinta di dalamnya.
Ya. Untuk apa saja barangkali. Sesuka hati sesuka siapa saja pelaku cinta dan kebencian sebagaimana adanya. Aum! Jadi singa, jadi mamalia gono-gini, seperti perebutan harta tak pada tempatnya, awal dari cinta berakhir perpisahan, saling memaki.
“Biar dia ikut saya.” Kesal. “Mentang-mentang kamu Bapaknya.” Juga kesal. Tarik menarik kepentingan sederhana itu, lalu siapa tersakiti. “Iya. Dia anak saya.” Kesal. “Dia juga anak saya.” Makin kesal. Kembali tarik menarik keinginan di antara keduanya, dulunya ada cinta dan kasih sayang di antara mereka, lelaki dan perempuan itu, kini saling berseteru. “Dia berhak bahagia.” Agak kesal. “Saya juga berhak bahagia bersama dia.” Meninggi agak kesal.
Pertanyaan pengadilan. Telah ketok palu. Masing-masing pihak diminta memikirkan kembali kehendak atas perpisahan. Pertimbangan antar perasaan, gengsi, pura-pura sombong, padahal menaklukan naga di dalam diri tak mampu, harta dan ingin rujuk campur aduk, meski tak ada perselingkuhan di antaranya. Masing-masing kembali melihat awal dari cinta mereka. Kenapa dan mengapa mereka jatuh cinta, punya anak, pekerjaan bagus masa depan oke banget.
Wawasan itu, hadir menakuti setiap waktu. Sial betul. “Ciluk Baaa… Ngelamun lagi. Minum obat dulu ya. Nanti saya kasih satu surat dari kekasih.” Perawat itu memberikan wadah kecil berisi beberapa obat. “Nah. Sejenak saya kembali dengan sebuah surat dari kekasih untuk Bapak. Kalau ngantuk Bapak boleh tidur dulu di kursi roda ini ya…” Sejak tadi lelaki itu hanya mengangguk. Apapun kata perawatnya.
Bagi lelaki itu. Kata ‘surat dari kekasih’, sudah cukup menghibur, tersenyum di hatinya. Di hari-harinya, hanya harapan pada sebuah surat dari kekasihnya, tak ada lain. Itu selalu, dia ingatkan kepada semua perawat di tempat itu. Hari berikutnya, hingga ke hari berikutnya lagi, terus, di dalam waktu berjalan di kepalanya, bersama kalimat ‘surat dari kekasih’, terus berputar-putar di kepala lelaki itu.
“Saya ingin ke taman sebelah teras itu.” Tetap saja, sejak entah kapan wanita itu ingin ke taman sebelah teras samping tempat itu. Wanita itu selalu berpesan pada semua perawat, bahwa kekasihnya akan datang lewat taman di sebelah teras itu. “Ibu tidak boleh ke taman itu.” Wanita itu menunduk sedih. “Baiklah… Ibu boleh ke taman sebelah teras itu. Tapi, minum obatnya dulu ya…” Ada binar gembira di matanya.
Wanita itu mendadak bergairah, meminum dengan cepat semua obat dari wadahnya, lalu ia tersenyum pada perawat itu, bersalaman, menarik, mendekat, untuk mencium pipi perawat itu. Hal tersebut selalu ia lakukan jika hatinya berbunga mendengar kata ‘boleh ke taman’ sebelah teras itu. “Ibu boleh tidur dulu di kursi roda ini jika mengantuk ya... Nanti setelah bangun, baru kita ke taman itu.” Wanita itu mengangguk dan senyum.
Waktu berjalan sekian lama. Usia para penghuni tempat itu tak bertambah sedikitpun. Kondisi fisik mereka sama persis seperti awal mereka masuk ketempat itu seperti apa adanya. Para perawat di tempat itu terus berganti-ganti, karena menua, lalu mati, hari berganti musim berganti kejadian sama persis terus berlangsung. Suasana di tempat itu pun seperti tak ada siang ataupun malam, seperti entah di mana.
Tempat itu, tetap seperti sedia kala, tak ada kerusakan apapun, di mata para penghuninya sejak awal masuk hingga waktu terkini. Sampai berkali-kali para peneliti purbakala silih berganti, dari muda hingga tua, hingga mati, berganti lagi, dari generasi ke generasi peneliti melakukan pekerjaannya sama persis, menerbitkan abstraksi manuskrip tentang tempat itu.
Tempat itu dan semua penghuninya tetap seperti sedia kala, sebagaimana terlihat oleh pandangan penghuninya maupun para pendatang baru akan menghuni tempat di kamar-kamar itu.
(ded/ded)