Cerita Pendek Syair Gemintang

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 16 Nov 2016 15:15 WIB
Maafkan aku Marsudi. Seharusnya aku melindungimu. Tugas terlalu cepat untukmu.
Foto: CNN Indonesia/ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Jakarta, CNN Indonesia -- Pendakian terakhir Mandalawangi, beberapa hari aku cukupkan. Di sini hening. Mengalir esai tentang langit sunda buhun tertulis di setiap gemintang malam. Syair para pujangga negeri leluhurku.

Juwita, hidup ini proses menuju keindahan kematian. Benar adanya katamu. Satu kesalahan kecil fatal pada sikap, kecepatan dan ketepatan. Pada situasi rawan seperti itu. Tak berguna betul aku ini. Geram ini tak mengobati luka-luka kebodohanku.

Suara malam tetap hening di antara teriakan menggema ke perbukitan hingga ke lembah-lembah. Maafkan aku Marsudi. Seharusnya aku melindungimu. Tugas terlalu cepat untukmu. Sistem. Kenapa harus ada sistem.

Uji coba ketahanan. Tak seharusnya untuk Marsudi. Gila! Dia terlalu muda untuk tewas. Hah! Aku kalah. Pada detik rawan tak seharusnya menembak tepat di kepala si Teror, betul dia harus mati di titik tepat di tengah bom asap aku bergerak terlalu cepat. Dor! Peluru dalam peredam menembus si Teror.

Kenapa Juwita muncul tepat di belakang bajingan itu, tak terlihat dalam bola asap tebal, Juwita gugur seketika terkena rentetan puluru menembus kepala Si Teror menghujam leher Juwita. Senjata dengan milimeter khusus itu mampu menembus mobil tempur lapis baja. Senjata di genggaman Juwita, di refleknya menyalak, pelurunya menembus dada Marsudi, ketika melompat akan menyelamatkan Juwita, dari arah tembakku.

Haach! Lelaki itu menggeram, berteriak kuat di hatinya. Meski palu pengadilan militer menyatakan dia tak bersalah dalam insiden itu. Dia tetap dicutikan sementara dari ketegangan mental tak dilibatkan dalam perburuan si Teror berikutnya.

Kutu jelek si Teror itu belum mati. Si tertembak, ternyata anak kandungnya, andalan si Teror, menurut forensik. Ketika itu aku yakin, tak ada telaah salah atau meleset dalam teropong bidik sasaran tembakku. Sudah waktunya aku bergerak memburu si Teror. Lelaki perwira muda itu bergerak cepat meninggalkan lembah Mandalawangi.

Bel berbunyi. Rumah instansi itu besar berhalaman cukup, model kolonial, berkoridor di halaman belakang menuju ruang-ruang, dapur, kamar mandi, kamar asisten rumah tangga, kamar-kamar tetamu, ada teras kecil.

Ibu Nona terus menyulam. Moko, asisten rumah tangga merangkap asisten menata kebun. “Ibu di depan ada tamu dua perwira muda”. Perempuan 84 tahun itu, Nona panggilan kecilnya, mengangguk. Nama asli Nona, Fatma Mawarni, peranakan Belanda dan Tionghoa. .

Moko segera menuju ruang tamu membuka pintu, kembali menghampiri Nona. “Ibu mereka menunggu di depan pintu”. Perempuan itu mengangguk, Moko kembali menuju tugasnya. Segera menyiapkan air panas untuk wedang suguhan dua tetamu perwira muda.

Nona, menghela nafas sejenak, berdiri pelahan di usianya, dia paham betul, ini kejadian biasa baginya. Akan sama persis dengan peristiwa-peristiwa lalu.

Nona, menyusuri koridor belakang rumah menuju ruang tamu. Dua perwira muda berdiri tegap. Masih di depan pintu, melihat Nona mendekat, mereka memberi hormat militer. Nona mengenali dua perwira itu, sahabat Juwita di kemiliteran, satu Corps Komando Spesifik Taktis Sergap. Perwira sebelah kiri menyerahkan berkas-berkas, perwira sebelah kanan, bergetar dadanya, tetap fokus. Memberi hormat, menahan gejolak perasaannya.

Nona menerima dengan amat tenang. Hanya mengangguk. Dua perwira memberi hormat, segera membalikan badan, berjalan tegap menuju mobil dinas militer formal.

Tembakan Salvo mengiringi pemakaman dua jenazah di Taman Makam Pahlawan. Dua orang Ibu, menerima Bendera Kebangsaan dan Corps Komando, Ibu dari Masduki dan Juwita, keduanya janda dari Kusuma Bangsa, suami mereka. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER