Jakarta, CNN Indonesia -- Pesawat membawaku terbang menuju sebuah negera. Peristiwa tadi sungguh membuatku bertanya-tanya, penasaran pada situasi kerjadian itu. Keadaan seperti itu, pernah terjadi tapi entah kapan. Suara ban pesawat menyentuh landasan, setelah sekian jam penerbangan menuju sebuah negara. Semua orang tampak bersiap, setelah pramugari memberi informasi. Waktu tetap sama. Jam tanganku mati.
Aku mengetuk-ngetuk kaca jam tanganku. Wanita gemuk di sebelah kiriku meminta jalan untuk lewat. Aku bergeser sedikit. Wanita itu melawatiku dengan susah payah, dari logatnya mungkin wanita itu dari Eropa Timur, mungkin dari sebuah negara perbatasan dekat Turki atau Maroko atau Serbia barangkali, bisa jadi dari Cekoslowakia. Sepintas, mendengar wanita gemuk itu bercakap dengan seseorang. Aku masih mengetuk-ngetuk kaca jam tanganku.
Semua orang turun. Tak terasa pesawat sudah kosong, Seseorang menegurku. “Apakah ada kesulitan? Bisa saya bantu?” Tanya pramugari itu dengan ramah. Aku jawab, tidak. Aku katakan bahwa jamku mati sejak entah kapan. Pramugari itu membantu membukakan loker kabin, tepat berada di atas tempatku duduk. Aku mengambil tas kecil berisi dokumen penting. Tersenyum padanya sedikit saja, dia senyum balik padaku.
Aku berjalan mendahuluinya. ‘Boleh saya tahu nama anda?’, suara cantik itu bertanya kepadaku? Aku menoleh, sambil aku jawab sekenanya, tampaknya dia kurang jelas lalu bertanya lagi. Aku menoleh dan memandangnya tajam, aku hanya senyum. Pramugari itu aku tinggalkan dalam keadaan tetap memandangi aku. Aku bergegas turun. ‘Hi kamu! Koreknya jatuh’. Teriak pramugari itu. Aku bergegas tak perduli meninggalkannya.
Ternyata aku masuk antrian panjang menuju exit, setelah mengambil koperku. Tiga petugas bandara memintaku mengikutinya, tampak dia mencurigaiku. Standart prosedur, surat-surat diperiksa, wajah dicocokan, petugas pabean bertanya hal mendasar. Selesai, aku menuju pintu keluar. Dari jarak tak jauh menuju pintu keluar bandara, aku melihat langit dari interior kaca-kaca bandara tampak gelap sekali.
Aku menoleh ke belakang, langit tak ada, hanya interior bandara dominan berwarna merah. Kelihatan seperti berubah menjadi gerombolan seribu serigala, melolong, seperti mengatakan sesuatu, seperti mengancam, akan mengeroyokku, mencabikku, mencakar. Tubuhnya semakin membesar perutnya membusung, kepalanya membesar, menjadi demokrasi plutokrat. Menjadi biadab dan hipokrit.
Aku mencoba menyadari, warnanya tetap merah. Aku menoleh lagi ke interior menuju pintu keluar bandara. Pemandangan tetap gelap langit tak tampak cerah seperti biasanya. Aku berhenti, persis di tengah orang-orang ramai dengan kepentingan masing-masing di bandara ini. Sambil terus memandang ke langit gelap, sempurna hitam di luar sana. Aku masih diam di tempatku berdiri.
Mendadak pramugari tadi sudah berada di hadapanku, menyerahkan korek, lalu bergegas pergi. Aku mencoba meraih lengannya, tak terjangkau. Aku memanggilnya dari tempatku bediri, tampaknya dia tak perduli, terus menuju suatu arah di antara orang-orang di bandara. Aku memanggil setengah berteriak. Pramugari! Pramugari! Semua orang menoleh padaku. Pramugari itu lenyap ditelan massa di bandara ini.
Bau parfum seperti di hotel sebuah negara tadi jauh telah aku tinggalkan, tercium lagi di hidungku, dari arah pramugari itu lenyap menuju entah kemana. “Be rational, jangan jadi orang pandir.” Aku fokuskan pikiranku, agar tak terjadi pergolakan, kontroversi irasional dan rasional di otakku. Harum parfum itu semakin tajam. Aku seperti dihipnotis, menciumi udara. Menikmati bau parfum itu. Semua orang menoleh kepadaku. Berhenti sejenak, memandangku, lalu pergi.
Aku mencoba melangkah, namun tampaknya ke dua kakiku seperti melekat pada lantai marmer bandara ini. Aku mencoba tenang. Konsentrasi pada kaki kanan, aku angkat untuk melangkah, juga tidak bisa. Sial! Apa lagi terjadi padaku di sini. Gila! Aku angkat lagi kaki kiriku, setengah memaksa, namun tak terangkat. Aku mulai waspada, ada apakah ini. Apakah ini semacam perangkap tikus? Agatha Christie, tak mudah membuka misteri. Apakah ini semacam itu?
(ded/ded)