Cerpen: Senandika Panji Air

CNN Indonesia
Minggu, 11 Jun 2017 08:34 WIB
Gerakan Paman Guru berkilat-kilat bagai berjuta pedang di langit. Sirna. Menjelma cahaya. Mengarah menyerang bagai kecepatan super meteor.
Ilustrasi (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pertempuran seru. Gerombolan rayap-rayap berani keroyokan. Tak berani man to man combat, mirip dengan para semut api penyebar panas pemuja iblis dari Benua Jauh, berani bergerombol, keroyokan, hal biasa bagi ulah kaum pengecut.

Bentrokan dua kubu kali ini tak terhindarkan, kaum rayap terdesak dahsyat kelompok semut api, ini hal biasa dalam sikap perebutan lahan bagi habitat masing-masing. Tanpa di duga semut api, muncul ribuan rayap-rayap alien dari angkasa lain dengan teknologi canggih.

Menyemburkan semacam zat perekat. Kelompok semut api terjebak, melekat tak bergerak, mati perlahan tubuh mengering jadi debu, musnah. Gerombolan pasukan rayap bersorak gembira, pasukan mereka berpencar ke berbagai arah sangat beringas, mungkin karena lapar.

Mungkin juga memang rakus, tak peduli pada norma. Ups! Kok norma sih. Rayap tak mengenal norma-norma lah hai, mereka diduga tak mampu membedakan norma-norma.

“Mengapa begitu?” Tanya Jork dengan memandang pada Paman, tajam.

“Alam menghendaki kelompok rayap-rayap memiliki sifat-sifat keseimbangan ekologi hidup seperti itu. ”Jork ingin tahu lebih banyak matanya menatap tajam. “Rayap bermanfaat gemburkan tanah, oksigen mengendap, benih tumbuh” Belum selesai kalimant Paman.

Secara ajaib salah satu daun gugur di tanah terbang diterpa angin menuju Jork. “Maksud Paman seperti daun bolong-bolong dimakan ulat?” Memperlihatkan daun di telapak tangan kanan terbuka di antara jemari mungil. Bersih belum tertulis sejarah apapun.

Paman mengamati dengan seksama. “Kurang lebih mirip dengan maksudmu,” jawab Paman. Di benak Paman, “Dia memiliki berkat Ilahiah itu. Semoga aku mampu memberi bimbingan.” Tampak kurang puas mendengar jawaban Paman, terlalu sederhana bagi Jork. Sorot mata itu menatap Paman.

“Mari kita uji ranting pohon ini,” suara Paman. Jork seraya menganggukkan kepala. Diam-diam Paman menggunakan kekuatan frekuensi nurani memanggil rayap naik ke permukaan tanah. Jork mengikuti Paman menuju ladang tebu usai di panen, berbatasan dengan tanaman pohon jati padepokan.

“Letakkan ranting di kerumunan rayap itu,” suara Paman. Jork menaruh ranting pohon di kerumunan rayap-rayap yang memperhatikan, bergeming.

Paman mundur beberapa langkah ke belakang, mengamati dengan laku frekuensi nurani. “Paman! Rayap-rayap memakan ranting kayu dengan lahap." Suara itu terasa ringan gembira.

“Ya,” jawab Paman singkat.

“Coba ranting ini,” Paman memberi ranting dari jenis kayu berbeda. Jork, menerima ranting kayu, menatap Paman penuh arti, meletakkan ranting bersisian dengan ranting pertama, di kerumunan rayap. Jork mencermati kayu kedua. Paman melesat terbang menuju pohon kelapa.

“Jork! Tinggalkan sejenak,” suara Paman memanggil.

“Ya Paman.” Suara Jork, di samping Paman.

Di Benak Paman, “Semakin sempurna kecepatan geraknya,” suara Paman. “Minum. Ini kelapa hijau berserat merah penawar dahaga.”

Keduanya duduk bersisian dengan Paman.

“Buah kelapa ini hijau. Apakah kelapa ini penawar racun ringan Paman?” Pertanyaan itu mendesak jawaban Paman segera.

“Ya,” jawab Paman singkat. “Bisa untuk membasuh luka,” lanjut Paman. Di benak Paman, “Semakin peka dia…” Belum selesai suara di benak Paman. Jork menghilang cepat.

“Paman!” Suara memanggil di ketinggian pohon kelapa. “Aku mengejar tupai terbang!” Suara nyaring seriang alam. Paman mengangguk mengijinkan.

“Jadikan sahabatmu!” Suara Paman menguji frekuensi laku dalam nurani Jork.

“Ya,” Jork menjawab cepat dengan frekuensi nurani.

“Sungguh berkat Ilahi itu telah kau miliki,” di benak Paman.

Waktu tempuh berjalan sebagaimana mestinya. Kodrat ada pada tiada atau berada pada kumparan waktu seperti kehendak siklus bimasakti. Siapa menuai badai, siapa menuai mata air kembali di hitungan pola matematis peradaban-peradaban.

Siapa pemilik peradaban? Makhluk, benda-benda kasat mata, dilahirkan dan melahirkan, segala hal akal budi alam raya. Siapa pemilik akal budi?

“Kitab terakhir telah kau selesaikan dengan cepat.” Paman suaranya masih tegas dan tenang bagai danau.

“Terima kasih Paman Guru,” suara itu telah akil balig, ada getaran frekuensi sopran nada suara itu, agak ngawang di antara nada bergelombang.

Paman Guru melesat cepat menuju gugusan bukit. Jork mengikuti di belakangnya. “Kau lihat bendera negaramu di antara panji-panji warna-warni.”

“Ya Paman Guru, panji-panji itu penjaga bendera kebangsaan negeri kita Paman, di kawal panji-panji warna berbeda-beda warna.” Paman mengangguk, menunggu jawaban berikut. “Panji keadilan dan hukum, falsafah negara kita.” Paman mengangguk. “Berkibar sesuai dengan berat dan besarnya bendera dan panji-panji itu.”

“Siapa menggerakkan bendera dan panji-panji?”

“Angin Paman” Menjawab dengan tanda tanya.

“Siapa menggerakkan angin?” Paman Guru perlahan.

“Alam.” Menjawab singkat dengan tanda tanya.

“Siapa menggerakkan alam?” Suara Paman Guru dengan frekuensi nurani.

“Jawaban makrifat itu tak perlu dikatakan Paman Guru. Dilakoni tanpa pamrih.” Mendadak serangan kanuragan secepat kilat tak terduga. Jork sungguh belum pernah melihat gerakkan sakti Paman Guru seperti itu.

Gerakan Paman Guru berkilat-kilat bagai berjuta pedang di langit. Sirna. Menjelma cahaya. Mengarah menyerang bagai kecepatan super meteor. Jork terus menghindari berputar-putar, terbang melesat meninggi, jumpalitan, melenting, tubuhnya berkelit kian kemari. Cahaya itu terus memburu.

Jork tak ada pilihan, hanya satu cara, tubuhnya berputar super cepat melesat ke atas bagai anak panah melesat sekilat cahaya. Menyerang balik pada Paman Guru. Di angkasa tampak bagai lukisan cahaya, gebyar-gebyar bagai ledakan bintang-bintang bergulung membentuk prana kosmik warna-warni.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER