Jakarta, CNN Indonesia -- Waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Matahari pagi menyinari saya ketika menyusuri jalan di kawasan perumahan studio alam TVRI, Cikumpa, Depok, Jawa Barat, mencari rumah Don Hasman, sang fotografer legendaris itu.
Tak banyak orang sekitar yang mengetahui rumahnya sehingga harus menelusuri gang demi gang. Sesampainya di depan rumah, tak ada kesan mewah ketika pertama melihatnya. Halaman yang luas dihiasi beberapa ekor kucing sedang bermain dan rumah yang saya kira usianya sudah cukup lama ditinggali olehnya. Walaupun saat ini usianya sudah mencapai 76 tahun, ia masih terlihat bersemangat ketika saya menyapanya.
“Om Don!” sapa saya ketika pertama kali bertemu dengannya. Don Hasman atau Om Don begitu ia kerap disapa yang menempati rumah tersebut. Om Don sangat terlihat bersemangat ketika menyuruh saya untuk masuk ke dalam rumahnya dan menunjukkan beberapa koleksi arsip yang ia miliki.
Arsip-arsipnya disusun dalam dua rak besi berukuran sekitar 2 meter x 1,5 meter. Di sekitar rak tersebut juga terdapat beberapa benda asli suku baduy seperti topi, angklung dan tikar yang ia miliki.
Perjalanan karier Fotografi sudah ia geluti sejak berusia 6 tahun. Ia belajar fotografi dari kakaknya. Ayah dari Arina dan Tarita tersebut telah memulai karier profesional sebagai fotografer sejak tahun 69. Karyanya telah menjadi tujuh buku yaitu:
Orang Baduy Dari Inti Jagad,
Banknotes & Coins,
Bunga Bangsa,
Arung Samudera,
Buku Geografi & Demografi Pemda,
Trail of Civilization, dan yang terakhir
Urang Kanekes, The Baduy People; The Indonesian Heritage Society.
Tak hanya menghasilkan buku, prestasi Don Hasman telah diakui tidak hanya di Indonesia tapi di kancah Internasional. Trofi ADINEGORO di bidang foto jurnalistik diraih pada tahun 1988. Selain itu ia dinobatkan sebagai 100 Famous Photographers In The World pada tahun 2000 oleh negara Perancis, meraih Anugerah Fotografi Indonesia kategori Dokumentasi/Jurnalistik pada tahun 2013, dan telah mendapatkan berbagai trogi dan penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1980.
Selain penghargaan di bidang fotografi, Don juga mendapatkan penghargaan sebegai Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2009.
Sudah banyak perjalanan yang ia lakukan. Mendaki gunung, menelusuri gua, bersepeda, mengemudi mobil lintas negara, menyelam, kegiatan Search And Rescue (SAR), dan penelitian di berbagai kelompok orang yang ada di Indonesia dan dunia telah ia lakukan. Namun, seiring bertambahnya usia, kekuatan fisiknya juga semakin berkurang. Saat ini Don lebih sering berbagi pengalamannya dengan mengisi sebuah seminar fotografi dan menjadi juri/kurator dalam lomba foto di Indonesia.
Antropologi, Fotografi, dan Etnofotografi Saat saya mengunjungi kediamannya, Don Hasman dengan panjang lebar menceritakan pengalaman dirinya menggeluti etnofotografi. Don Hasman dianggap oleh sebagian orang sebagai bapak etnofotografi, namun dirinya tak pernah menganggap seperti itu.
Menurutnya banyak yang salah mengartikan fotografi sebagai seni melukis dengan cahaya. Banyak orang menekuni fotografi tetapi tidak mengetahui definisi fotografi itu sendiri. “Fotografi adalah mengambil gambar sebagaimana mata melihatnya,” ujarnya.
Dalam antropologi terdapat metode pengamatan dan wawancara yang dapat digunakan sebagai alat bantu untuk memperoleh data yang sangat mendalam dan akurat. Etnofotografi digunakan untuk merekam sebuah perilaku masyarakat yang ada. Untuk mendapatkan karangan yang terperinci dan mendalam digunakan metode antropologi. Pada kenyataannya, masih banyak aspek sosial interaksi maupun suasana yang sulit untuk diungkapkan secara sempurna dengan kata-kata atau lewat bahasa.
Sementara itu, kaitan antara etnofotografi dengan foto jurnalistik selain sama-sama berhubungan dengan foto, keduanya juga menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Tidak boleh ada rekayasa dalam proses pengerjaan etnofotografi. “Tiga buku sudah dilarang terbit karena adanya rekayasa dalam pembuatan foto di daerah Baduy,” ujarnya.
Menurut Don Hasman, banyak yang mempersepsikan etnofotografi hanya terfokus pada suku di daerah pedalaman saja. “Tidak, etnofotografi juga dapat diterapkan pada perkotaan yang modern. Seperti ketika merekam mengenai perkantoran di Thamrin, Jakarta dan New York, Amerika Serikat. Kita dapat memahami perilaku manusianya dan digunakan sebagai penelitian pada masa yang akan datang. Jadi, etnofotografi tidak terbatas pada kelompok terasing atau tradisional kuno,” bantah lelaki berumur 76 tahun itu.
Etnofotografi digunakan sebagai bahan analisis, sebagai pembuktian kebenaran dari berbagai ilmu pengetahuan. Karena etnofotografi merekam kejadian yang sesungguhnya tanpa rekayasa yang berkenaan dengan masyarakat sekitar seperti perilaku, pakaian, jenis rambut, warna suatu suku, dan sebagainya.
Don mengatakan, untuk menekuni etnofotografi tidaklah mudah, butuh pengorbanan, biaya, dan tenaga yang lebih untuk menekuninya. Seperti dalam proses pembuatan buku terakhirnya yang berjudul Urang Kanekes, The Baduy People; The Indonesian Heritage Society yang diterbitkan pada Desember 2012 membutuhkan waktu 37 tahun untuk mengumpulkan foto dan membuat buku tersebut.
Jadi etnofotografi memerlukan suatu pendekatan yang berusaha menggabungkan kenyataan yang ada dan merekamnya sebagai bukti otentik dari sebuah peradaban manusia. Etnografi merupakan salah satu bidang fotografi yang tersulit untuk ditekuni. Hanya sekitar 700 orang yang menekuni bidang etnofotografi di dunia. Menurutnya tidak banyak yang mau menekenuni etnofotografi karena tidak ada uangnya.
“99% perjalanan saya menggunakan biaya saya sendiri, paling hanya 1% menggunakan biaya orang lain karena diajak bareng atau menumpang dengannya,” ujarnya.
Baduy dan Segala Kehidupannya Bagi lelaki kelahiran Jakarta, 7 Oktober 1940, Baduy dianggap sebagai suku yang paling berkesan selama ia menekuni etnofotografi. Baduy dianggap sebagai nenek moyang bangsa Indonesia yang masih ada sampai saat ini karena telah ada sejak abad ke-5 pada masa prahindu.
Bukti suku Baduy sudah ada sejak masa itu menurut Don adalah adanya punden berundak yang sangat identik dengan masa itu. Selain karena kedekatan geografis karena dekat dengan tempat tinggalnya, perilaku suku Baduy juga baik dan mau menerimanya. Don sudah lebih dari 600 kali pergi ke Baduy. Bahkan ia pernah menghitung dalam 1 tahun, 38 kali ia mengunjungi suku Baduy.
Menurut Don, suku Baduy saat ini sudah banyak mengalami perubahan. Memang perubahan tidak dapat dihindarkan dari suku Baduy, tetapi perubahan dalam Baduy tidak terlampau cepat. Ideologi yang terdapat pada suku Baduy adalah “Apa yang dulu tidak ada harus tidak ada, Apa yang tidak ada harus dipertahankan tidak ada.”
Keyakinan seperti itu yang membuat suku Baduy tetap ada seperti sedia kala. Seperti dahulu Baduy tidak mengenal orang asing. Sampai sekarang orang asing tersebut juga harus tidak ada di Baduy. Tapi, cepat atau lambat budaya di Baduy akan berubah.
Setelah lama bolak-balik suku Baduy, membuat sifatnya menjadi terpengaruh dengan sifat asli suku Baduy. Sifat yang terpengaruh seperti hidup jujur dan bekerja keras untuk membentuk fisiknya dan itu sangat berbekas kepadanya. Menurutnya jika sistem di dunia ini mengikuti sistem yang ada pada suku Baduy, dunia akan aman dan tentram.
“Baduy adalah negeri lain,” ujarnya seraya menunjukkan koleksi foto Baduy. Baduy merupakan bagian dari negara Indonesia tapi bukan bagian dari pemerintahan Indonesia. Contohnya dalam penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Suku Baduy dahulu tidak mengenal adanya KTP. Sampai sekarang, mereka yang berusia 70 tahun tidak memiliki KTP. Menurut hukum di Indonesia jika warga negara tidak memiliki KTP jika sudah berusia 17 tahun dapat dipenjara. “Berarti orang Baduy yang telah berusia 17 tahun harus dipenjara semua ?” tanya Don.
Kesederhanaan Benar seperti apa yang dikatakan oleh Kristupa Saragih yang dikutip dari blog pribadinya, sosok Don Hasman adalah sosok langka, pertemuan secara langsung dengan Don Hasman bisa membuat kita menyelami pribadinya. Saya setuju dengan pendapatnya, ketika saya berkunjung pertama kali ke rumah Don, saya langsung melihat kesederhanaannya. Bagaimana dalam pertemuan yang singkat, ia mau menjelaskan dan membantu saya dalam menyelesaikan tugas yang ada.
Don rela untuk mengajar atau memberikan sebuah materi perkuliahan tidak dibayar sedikitpun. Karena menurutnya ilmu dan cerita itu harus dibagi tidak untuk disimpan sendiri. Don juga tidak segan untuk menaiki kendaraan dengan kelas ekonomi dan kendaraan umum.
Dalam melakukan perjalanan, Don lebih senang berjalan kaki. Jalan kaki adalah kepuasan tersendiri baginya, dengan berjalan kaki kita dapat bahan langsung dari sumbernya karena sepanjang jalan kita dapat merangkai berbagai hal. Don bingung mengapa banyak yang tidak ingin jalan kaki, padahal lebih banyak yang didapatkan ketika kita berjalan kaki.
Terus Berkarya Di umur yang akan menginjak 77 tahun, kekuatan fisik jelas menjadi hambatan dalam berkarya. Namun, karena sudah banyak memiliki pengalaman dan referensi, ia menganggap harus menyelesaikan banyak buku karena pada masa tua memiliki banyak waktu untuk menulisnya. Terdapat 26 buku yang akan ia tulis sampai saat ini, namun karena keterbatasan usia ia berharap agar dapat menyelesaikan semua buku itu.
Sepanjang hidupnya ia telah menulis tujuh buku, dan lima penghargaan. Terakhir ia mendapat penghargaan Anugerah Fotografi Indonesia kategori Dokumentasi/Jurnalistik dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2013. Perjalanan yang akan ia lakukan selanjutnya adalah ke Peru, ia ingin menelusuri suku Inca. “Saya ingin datang langsung liat, jangan kata orang dan kata buku, saya ingin memastikan bahwa memang itu benar adanya,” ujar Don dengan bersemangat.
Don berpesan terhadap orang yang ingin mengikuti karirnya yaitu harus siap mental, harus siap capek, jangan pernah lakukan pekerjaan itu. “Kalau kau bisa lakukan dengan baik, kau menjadi bagian dari 700 orang di dunia ini yang menekuni etnofotografi. Karena pekerjaan ini tidak ada uangnya dan tidak bertujuan komersial,” ujarnya.