Jakarta, CNN Indonesia -- Dunia jurnalistik kembali dikejutkan oleh kematian satu lagi wartawan Amerika Serikat di tangan militan Negara Islam Irak dan Suriah, ISIS, menyiratkan ancaman yang semakin nyata bagi pekerja media yang meliput di wilayah konflik.
Korban terbaru adalah Steven Sotloff yang tewas dipenggal lehernya oleh seorang algojo ISIS, direkam dalam video dan diunggah di internet Selasa pekan ini.
Sebelumnya 19 Agustus lalu, wartawan AS lainnya, James Foley, dibunuh ISIS dengan pesan yang sama untuk Presiden Barack Obama: hentikan serangan ke Irak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baik Sotloff dan Foley diculik saat meliput konflik di Suriah.
Lembaga Committee to Protect Journalists, CPJ, memperkirakan sedikitnya 70 wartawan tewas saat meliput di Suriah; lebih dari 80 wartawan diculik, dan sekitar 20 lainnya hilang tanpa jejak, menjadikan negara ini wilayah paling berbahaya untuk pekerja media.
Jumlah wartawan yang diculik ini lebih banyak ketimbang saat konflik di Irak tahun 2007 dengan 25 kasus.
"Jurnalis tahu bahwa meliput wilayah perang sangat berbahaya dan mereka bisa terbunuh dalam baku tembak. Tapi dipenggal di depan kamera karena menjalankan tugas jurnalisme murni tindakan barbar," tulis Direktur Eksekutif CPJ, Joel Simon.
"Kami mengutuk keras pembunuhan wartawan Steven Sotloff. Dia, seperti James Foley, pergi ke Suriah untuk menyajikan kisah. Mereka warga sipil, bukan perwakilan pemerintah. Pembunuhan mereka adalah kejahatan perang dan pelakunya harus diadili," kata Simon lagi.
Menurut laporan International News Safety Institute, INSI, pekan lalu empat pekerja media lainnya tewas - satu di Gaza dan tiga di Pakistan.
Menurut INSI, selain di Suriah, negara yang paling berbahaya bagi wartawan adalah Irak, Pakistan, Afganistan, Yaman, Somalia, Mesir, Sudan, Cad, Republik Afrika Tengah, Kongo dan Nigeria.
Sherif Mansour, koordinator program Timur Tengah dan Afrika Utara CPJ mengatakan, selain ISIS, pelaku penculikan biasanya adalah kelompok militan independen yang butuh uang, salah satu caranya menculik dan minta tebusan.
"Tren penculikan ini dimulai pada akhir 2012. Pada dasarnya mereka mengincar wartawan dari negara yang kira-kira bisa bayar tebusan," kata Mansour.
Salah satu korbannya adalah Jonathan Alpeyrie, pewarta foto keturunan Prancis-Amerika dari perusahan Polaris, yang diculik di Damaskus, Suriah, pada 29 April dan dibebaskan tiga bulan kemudian dengan tebusan US$450 ribu atau Rp5,3 miliar.
"Pasukan pemberontak sangat putus asa sehingga tidak peduli lagi pada reputasi mereka di luar negeri. Mereka melihat orang-orang seperti kami sebagai kesempatan emas," kata Alpeyrie dalam wawancaranya dengan media Paris, Journal de la Photographie.
Tidak hanya wartawan, tapi juga penerjemah, pemandu lokal dan supir menjadi sasaran penculikan untuk tebusan. Hal ini disebabkan terpuruknya perekonomian akibat konflik yang memicu masalah di kalangan kelompok-kelompok pemberontak.
"Jumlah penculikan kini lebih banyak dan lebih kejam. Tidak dipungkiri bahwa perpecahan kelompok bersenjata dan meningkatnya jumlah kelompok radikal, menyumbang banyak dalam naiknya angka penculikan," kata penyelidik senior Amnesty International, Donatella Rovera, yang sudah sudah lama di Suriah untuk menyelidiki pelanggaran HAM, seperti dikutip dari New York Times.