KONFLIK UKRAINA-RUSIA

Ambisi Putin Bukan Cuma Ukraina

CNN Indonesia
Jumat, 05 Sep 2014 17:03 WIB
Rusia diam-diam menggalang dukungan dengan negara-negara yang tidak suka dengan prinsip-prinsip Barat yang diusung Amerika Serikat.
Putin diam-diam menggalang dukungan dengan negara-negara pembenci Barat.
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Amerika Serikat Barrack Obama hanya menganggap Rusia sebagai kekuatan "regional" yang "tidak memimpin blok maupun ideologi global manapun." P
 
Obama juga terus menganggap remeh Vladimir Putin dan menyatakan Rusia adalah negara yang tidak punya kawan, padahal Putin sudah membangun dasar persekutuan untuk menandingi NATO.

Rusia berada di tengah negara-negara yang tidak nyaman atau tidak cocok dengan prinsip-prinsip Barat yang dinilai Obama "sudah jelas",  negara-negara tersebut  jengkel dengan kendali Barat terhadap institusi dan norma global. 
 
Putin berusaha menawarkan alternatif dan memperkuat hubungan penting yang memungkinkan dia mewujudkan tujuannya -- dengan kekuatan kelas menengah seperti India, dengan rezim-rezim yang selalu didekati karena sifatnya, dan dengan elit politik tertentu di Eropa.

Menganggap Semenanjung Krimea sebagai satu-satunya tujuan strategis Moskow adalah anggapan yang salah. Dengan peningkatan popularitas Putin di dalam negeri,  dia kemungkinan akan menantang Uni Eropa dan Nato secara metodis. 
 
Kemauan Rusia untuk menggunakan kekuatan secara besar-besaran dan ketidakmampuan Barat menanggapinya memberi dua keuntungan penting kepada Putin.

Dengan kemungkinan membangun kekuatan bersama negara-negara tetangga, Putin akan memusatkan perhatian pada peluncuran Uni Eurasia tahun depan.
 
Aliansi baru ini bukan reuni Uni Soviet -- aliansi ini lebih ambisius secara geografis. Ekspor peralatan militer dan minyak Rusia akan membantu Uni Eurasia membangun modal geopolitik yang bisa jauh melampaui perbatasan Eropa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sangat sedikit negara yang bisa memproduksi sendiri senjata dan energi yang mereka butuhkah, misalnya India dan Tiongkok, memiliki 
kekuatan militer besar yang bergantung pada teknologi Rusia. 

Gazprom merampungkan kesepakatan pasokan gas besar-besaran dengan Tiongkok yang berkembang dari persetujuan sebelumnya, dan Rosneft sedang berusaha membuat kesepakatan minyak jangka panjang dengan India. 
 
Dua negara ini sepanjang sejarah tidak pernah menentang Rusia di panggung internasional; kedua negara termasuk dalam 69 negara yang tidak memilih untuk mengecam Rusia atas "referendum" Crimea di PBB.

Ekspor Rusia lain -- ideologi -- bertujuan mengikis Uni Eropa. Moralitas Russo-Ortodoks yang menyelubungi persatuan bentukan Putin juga sudah digunakan secara taktis untuk membangun hubungan politik di Eropa, terutama dengan partai-partai sayap kanan.

Sekutu fasis Kulit Putin di Eropa tidak menyukai dasar demokrasi inklusif Uni Eropa, dan bahkan tidak menyukai keberadaannya sama sekali. 

Mereka ada di garda terdepan provokator di kasus di Semenanjung Krimea -- lihat saja bagaimana Nigel Farage dari Partai Kemerdekaan Inggris mengatakan Uni Eropa bertanggung jawab atas pertumpahan darah karena memprovokasi Putin, dan bersikeras Uni Eropa tidak seharusnya mengatur pertahanan atau kebijakan luar negeri.

Partai ekstrim kanan di Perancis, Yunani, Italia, Hungaria, dan di negara lain, mempunyai semangat anti-minoritas yang sama dengan Rusia bersatu versi Putin. 
 
Kelompok ini diperkirakan akan sukses di pemungutan suara Parlemen Eropa Mei dan membentuk blok tandingan anti-Uni Eropa dan Pro-Rusia -- ketakutan yang diperkuat ketika partai Barisan Nasional Perancis di luar dugaan sukses besar di pemilihan umum tingkat daerah. 

Partai-partai ini memperkuat suara dukungan untuk Putin yang sudah tersebar di penjuru spektrum politis Eropa, seperti mantan Kanselir Jerman Gerhard schroeder, yang kini kerja di Gazprom, yang memuji Putin sebagai "demokrat tanpa cacat." 
 
Beberapa pihak bertanya-tanya secara terbuka apakah mungkin anggota Uni Eropa bergabung dengan Uni Eurasia.

Uni Eropa yang melemah dan terpecah berbanding terbalik dengan apa yang dijanjikan Uni Eurasia. 
 
Daya tariknya akan bergerak jauh melebihi keuntungan perdagangan dan perjalanan, mungkin dengan mengajukan mata uang alternatif cadangan sebagai cara menyaingi institusi internasional yang didominasi Barat.

Ide ini sudah mencuat di Moskow sejak bertahun-tahun lalu. Pada 2009, Presiden Rusia Dmitry Medvedev bahkan menunjukkan contoh koin "mata uang dunia bersatu masa depan" kepada para pemimpin G8; dan baru-baru ini, Moskow menyebut-nyebut Yuan sebagai mata uang yang akan mengisi peran ini. 
 
Menciptakan alternatif selain dollar dan euro bukan tugas yang mudah, tapi dampak finansialnya terhadap Amerika Serikat akan sangat besar.

Kebijakan luar negeri Putin yang baru menyediakan daftar rekrut untuk menjalankan proyek semacam itu. 
 
Dia secara aktif memperkuat hubungan dengan sekutu masa perang dinginnya, termasuk India, China, dan Vietnam; memberi bantuan materiil terhadap "aktor buruk" yang menjadi pusat perhatian seperti rezim Suriah, Iran, dan Venezuela; dan menjalin hubungan baik dengan anggota kelompok pasar berkembang BRICS yang mengutuk perlakuan G7 terhadap Rusia. 
 
Semua itu adalah pemangku kepentingan utama potensial dalam sistem ekonomi baru yang paralel dengan sistem sebelumnya.

Kemitraan ekonomi ini tidak akan menjadi sebatas kebangkitan Gerakan Non Blok. Sebagai kesatuan, negara-negara ini mewakili lebih dari 20 persen pengeluaran ekonomi global. 
 
Kerja sama mereka dapat berubah menjadi aliansi militer tak ternilai dengan kapasitas ekspedisi dan ambisi yang sangat diinginkan Putin untuk melawan NATO.

Aliansi ini akan memberi Putin validasi yang dia inginkan dan dunia bipolar yang selalu dia anggap penting untuk stabilitas. 
 
Uni Eurasia adalah inti sekaligus tumpuannya; aliansi ini memberikan keuntungan ekonomi dan militer sehingga mitra-mitra kecil tergiur untuk bergabung.

Sementara itu, lebih banyak krisis dipicu oleh kemitraan transatlantik. Dalam rangka meminimalisir skala ancaman Rusia, Obama memutarbalikan kebijakan transatlantik dengan mengecilkan dukungan untuk pendukung NATO. 
 
Kebijakan ini malah melemahkan aliansi yang dibutuhkan Amerika untuk meindungi diri dan mempertahankan nilai-nilai yang dia junjung.

Amerika lemah soal Georgia pada 2008; dan itu terjadi lagi kini di 2014. semua orang berharap Putin akan berhenti di Semenanjung Krimea. Tapi harapan bukan strategi. 
 
Menunggu dan hanya bereaksi terhadap setiap langkah yang diambil Putin hanya akan membawa pada kekalahan; Amerika harus mengantisipasi dan melawan setiap gerakannya. 

Tidak membuat perencanaan konfrontasi jangka panjang adalah kesalahan yang sangat fatal. Kegagalan dalam mewujudkan itu berarti juga menggagalkan nilai yang diperjuangkan bangsa Eropa, Amerika, dan sekutunya selama beberapa generasi.
----------
Oleh Molly K. McKew dan Gregory A. Maniatis, 31 Maret, The Washington Post

Molly K. McKew dan Gregory A. Maniatis adalah mantan penasihat pemerintahan Georgia selama konflik 2008 dan setelahnya dengan Rusia. Mereka adalah penasihat independen soal kebijakan luar negeri untuk pemerintah dan organisasi-organisasi.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER