Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Upaya mengatasi ancaman ISIS di Irak dan Suriah tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan antara negara Arab dan Irak, antara Sunni dan Syiah.
Arab berkepentingan menyiapkan posisi Sunni di Irak, sementara Iran berupaya mempertahankan kekuatan Syiah di negara itu.
Melihat kepentingan yang berbeda ini, tidak heran jika kedua pihak saling membantu kekuatan politik bersenjata. Arab dan Qatar, misalnya, membantu kelompok Sunni, sementara Iran mempersenjatai militan Syiah di Irak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah fenomena ini kemudian muncul kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah, ISIS. Hal yang sama sempat terjadi di Afganistan, pada kemunculan Taliban yang disokong Pakistan, Arab Saudi dan Qatar, di era 90an.
Hal ini sekarang terjadi di Irak sehingga Amerika Serikat merasa harus cukup berhati-hati mengambil peran di Timur Tengah.
Faktor ini yang membuat Presiden Barack Obama terlambat memberi respon mengatasi konflik Irak.
Apa yang dilakukan ISIS saat ini sudah sangat meresahkan komunitas nasional, negara-negara tetangga, baik Iran maupun negara Arab di jazirah.
Carut-marut kepentingan ini semakin ditandai dengan kegagalan AS menempatkan diri sebagai mediator yang baik di tengah kekuatan regional yang berselisih.
AS lebih mengakomodir kepentingan Arab, dengan menafikan posisi Iran.
Ini bisa dimaklumi karena Saudi adalah sekutu kuat negara Paman Sam di Timur Tengah.
Padahal Iran adalah pemain utama dalam perpolitikan Irak yang 60 persen penduduknya menganut Syiah, agama yang melandasi berdirinya negara Iran.
Jika Iran tidak diikutsertakan dalam penyelesaian masalah ISIS, nasib Irak terancam terkatung-katung.
Taruh saja misalnya ISIS berhasil diatasi oleh koalisi Amerika Serikat dan Arab, lalu selanjutnya apa?
Jika tidak ada kesepakatan regional dalam melihat permasalahan Irak yang sesungguhnya, maka damai akan menjadi mimpi di siang bolong di negara tersebut. Perdamaian sulit tercipta jika ketakutan akan kekuasaan Syiah kembali muncul di Irak.
Negara-negara Arab khawatir akan semakin kuatnya pengaruh Syiah yang ditanamkan Iran di Irak dan beberapa negara yang terbentang dari Persia hingga ke Barat, dari Libanon, Suriah, Irak hingga Iran. Sementara di selatan, kelompok Sunni berkuasa.
Arab sudah tidak mampu menahan akumulasi kekuatan Syiah di Timur Tengah dalam empat dekade terakhir, inilah salah satu alasan mereka terjun membantu di perang saudara Suriah dalam menumbangkan rezim Bashar al-Assad yang notabene adalah Syiah Alawi yang didukung Iran.
Iran juga merupakan musuh bebuyutan AS, dalam hal program nuklir.
AS menuduh Iran tengah mengembangkan senjata nuklir, sementara pemerintah Teheran membantahnya, mengatakan pengayaan uranium mereka untuk tujuan sipil.
Seharusnya peran Iran tidak bisa diabaikan dalam mengatasi ancaman ISIS di Irak karena tanpa keterlibatan Iran, masalah di Jazirah Arab sulit diatasi.
Iran sudah dimaklumi pasti akan memperkuat kekuatan Syiah di kawasan, namun jika dilibatkan dalam penyelesaian konflik, Iran tidak bisa egois.
Iran harus membangun kepercayaan dengan negara-negara Arab, salah satunya soal program nuklir, dengan membuktikan bahwa mereka benar-benar tidak sedang mengembangkan senjata nuklir, didukung oleh pernyataan IAEA (Badan Energi Atom Internasional).
Presiden Iran periode 1997-2005 Mohammad Khatami sebenarnya sudah mulai berhasil memupuk kepercayaan itu.
Pada 1997, untuk pertama kali Arab Saudi menyetujui negara Syiah seperti Iran menjadi ketua Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Tapi saat Mahmoud Ahmadinejad memimpin dengan retorika-retorikanya yang keras soal program nuklir, hubungan itu rusak lagi.

Pemimpin Iran sekarang lebih moderat, diharapkan bisa mengakomodir kepentingan Arab dan Iran.
Posisi AS dalam menghadapi konflik ini juga kurang menguntungkan.
Di saat tekanan di Asia Timur akibat kebangkitan China membesar, Timur Tengah butuh fokus yang besar, belum lagi ditingkahi oleh krisis ekonomi yang terjadi, maka Obama harus berhati-hati, memilah mana yang harus diatasi lebih dulu.
Secara politik dan ekonomi konflik ini akan menyedot sumber daya AS sangat besar, sehingga perang negara Arab sangat penting. Itulah mengapa Saudi dapat mempengaruhi AS untuk mengatasi konflik Irak.
Saudi harus terlibat. Pasalnya jika ISIS bisa dihancurkan oleh koalisi Amerika, maka yang paling diuntungkan adalah Iran. Jika ISIS hancur, Syiah bisa berkibar di sana.
Saudi punya kepentingan besar untuk membantu Irak pasca ISIS agar terlalu besar berada dalam pengaruh Iran.
---------
Smith Alhadar, Penasihat The Indonesian for Middle East Studies.
(den/yns)