Jakarta, CNN Indonesia -- NATO menyatakan intervensi militer untuk melawan Negara Islam Irak dan Suriah, ISIS, diperlukan untuk mencegah terjadinya genosida.
"Apa yang mereka lakukan hampir sebanding dengan genosida," kata Direktur Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen, Senin (15/9).
Dia menyatakan, tindakan militer dibutuhkan untuk melemahkan dan mengalahkan kelompok teroris yang mengancam keamanan internasional ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, dia juga menyatakan NATO sebagai organisasi tidak akan melakukan serangan militer apapun terhadap ISIS.
"Kami tidak mempertimbangkan untuk melibatkan NATO sebagai pemimpin operasi ini. Sejumlah sekutu NATO membentuk koalisi yang juga melibatkan negara-negara dari kawasan," kata Rasmussen pada pidatonya di lembaga thinktank Carnegie Eropa, Brussels, Belgia.
Amerika Serikat, salah satu anggota dominan NATO, sudah melakukan serangan udara terhadap ISIS di Irak. Terhitung sejak bulan lalu, AS telah melancarkan lebih dari 50 kali serangan udara ke Irak.
Rusia menyatakan pada minggu lalu, serangan udara yang dilakukan tanpa mandat Badan Keamanan PBB ini adalah tindakan agresi yang meningkatkan kemungkinan konfrontasi.
Rasmussen menilai, dari sudut pandang orang awam, dia merasa ada dasar prinsip-prinsip Piagam PBB yang sesuai dengan tindakan militer AS terhadap ISIS.
"ISIS melakukan kekejaman luar biasa dan saya dapat mengatakan, pembantaian dan serangan mereka terhadap minoritas etnis atau agama, hampir sebanding dengan genosida. Menurut saya, itu menjadi alasan yang cukup untuk membenarkan serangan AS berdasarkan piagam PBB," ujar dia.
Selain itu, dia juga menilai tindakan militer ini adalah tindakan melindungi diri, sehingga dibenarkan berdasarkan piagam itu.
Di pertemuan tingkat tinggi lalu, NATO setuju untuk mengkoordinasi bantuan keamanan di Irak untuk melawan ISIS, termasuk mengkoordinasi bantuan yang dikirim lewat negara.
Rasmussen menilai, dunia harus belajar dari operasi militer yang pernah diadakan sebelumnya, seperti di Libya, untuk menyadari seberapa penting tindakan seperti itu dalam membantu meningkatkan keamanan dan membenahi pemerintahan.
Sejak serangan udara NATO 2011 membantu melengserkan Moammar Khadafi setelah 42 tahun memimpin, Libya belum bisa mengatasi mantan militan pemberontak yang menolak menanggalkan senjata mereka.
"Penting untuk mengerti bagaimana tindakan semacam ini harus dijalankan berdampingan dengan usaha warga sipil untuk membangun negara baru setelah operasi militer," kata Rasmussen.