ISU PALESTINA

Mencari Pemimpin Baru Palestina

CNN Indonesia
Jumat, 19 Sep 2014 09:18 WIB
Mahmoud Abbas tidak akan ikut dalam pemilihan pemimpin Palestina mendatang. Banyak kandidat potensial, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Banyak kandidat potensial pengganti Mahmoud Abbas, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagian besar warga Palestina hanya mengenal dua pemimpin: Yasser Arafat, seorang tokoh berapi-api yang selalu mengenakan penutup kepala kotak-kotak, dan Mahmoud Abbas, tokoh kebapakan yang tenang yang lebih suka mengenakan setelan jas ala barat.

Arafat meninggal di Paris pada 2004, setelah memimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sejak 1969, dan sejak itu kepemimpinan Palestina dipegang Abbas yang terus mencoba mencapai perdamaian dengan Israel.

Abbas, 79 tahun, tidak pernah terlihat sakit dan terus mengadakan perjalanan keliling dunia, ke Prancis minggu ini dan ke New York minggu depan untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akan tetapi Abbas telah mengatakan tidak akan ikut dalam pemilu mendatang, sehingga suksesi kepemimpinan Palestina hanya tinggal menunggu waktu.

Pemimpin Palestina baru yang diharapkan oleh sebagian besar warga negara itu, 4,4 juta orang di Tepi Barat dan Gaza, ditambah tujuh juta lainnya yang tinggal di berbagai negara di dunia, untuk bisa menciptakan satu negara Palestina merdeka.

Masalahnya Abbas belum menunjuk seorang pengganti dan tidak memperlihatkan tanda-tanda akan melakukan hal itu, dan tidak seorangpun yang telah tampil sebagai pewaris kekuasaan.

Orang-orang di sekitar Abbas pun terus menerka-nerka tokoh yang pantas mengambil alih tongkat kepemimpinan Palestina.

Mahmoud Abbas hingga kini belum menunjuk calon penggantinya (Reuters/Mohammad Torrokman)

Strategi ini bisa menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang akan menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas demokrasi, visi politik dan individu yang akan memimpin perundingan dengan Israel pada saatnya.

"Dia tidak memiliki putera mahkota, dia tidak memfasilitasi satu sistem dimana orang akan merasa bisa mencapai posisi puncak," ujar Grant Rumley, pakar masalah Palestina dari Yayasan untuk Pembelaan Demokrasi di Washington, D.C.

Para pengamat politik mencatat bahwa selama beberapa tahun Abbas menyingkirkan tokoh yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Tokoh yang paling baru disingkirkan adalah Salam Fayyad, mantan wakil perdana menteri, yang kemungkinan berbicara melewati batas ketika dia dikutip oleh satu koran Amerika Serikat bahwa dia kemungkinan akan mencoba untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

"Hal ini menjadi satu masalah yang mendesak," kata Rumley menanggapi kosongnya calon pemimpin Palestina.

Pengamat lain lebih terbuka atas situasi yang dianggap sebagai kegagalan elit politik untuk menciptakan suksesi yang mulus.

"Tidak ada strategi yang jelas," ujar Rami Khouri, peneliti di Univeritas Amerika, Beirut. "Abbas bertindak seperti layaknya seorang pemimpin Arab yang menjadi terlalu nyaman dengan posisinya dan tidak tahu harus berbuat apa terkait situasi yang mungkin terjadi selanjutnya."

Sementara itu seorang diplomat Palestina di Ramallah, kota tempat Abbas tinggal, menggambarkan Abbas menjadi "seperti Samson yang tinggal di kuil, siap untuk menghancurkan seluruh sistem" yang ada di tanpa memikirkan konsekuensinya.

Kursi panas

Sejak Abbas secara resmi menjadi presiden Otoritas Palestina pada Januari 2005, situasi di bawahnya telah berubah yang menyulitkan perhitungan politik yang telah dibuat olehnya dan juga Fatah yang pernah menjadi partai yang dominan.

Gerakan Islam Hamas, didirikan di Gaza pada 1980-an, menjadi populer dengan memenangkan pemilu legislatif Palestina pada 2006 dan mengoyang landasan kekuasaan Abbas dengan membuka mata warga Palestina atas pilihan alternatif selain Fatah.

Selama satu tahun Ismail Haniyeh dari Hamas menjadi perdana menteri di bawah Abbas sebelum dipecat pada 2007, ketika ketegangan antara kedua partai terjadi di Gaza sehingga kelompok Islamis ini mengendalikan wilayah itu.

Marwan Barghouti yang dipenjara Israel adalah calon popular (Reuters/Ammar Awad)

Akibat perpecahan internal ini, parlemen Palestina tidak pernah bersidang sejak 2007, dan pemilu legislatif yang dijadwalkan pada 2010 tidak pernah dilaksanakan.

Secara teori mandat Abbas sebagai presiden Otoritas Palestina berakhir pada Januari 2009, namun para pejabat mengatakan undang-undang memberinya hak untuk tetap berkuasa hingga pemilu diselenggarakan yang hingga kini belum ditetapkan tanggalnya.

April lalu, Fatah dan Hamas mencoba menjembatani perbedaan di antara mereka dan sepakat membentuk 'pemerintah bersatu".

Ketika kesepakatan itu dicapai pada Juni, Abbas mengatakan pemilu akan diadakan "dalam waktu enam bulan", yang tampaknya sangat ambisius.

"Banyak orang yang mampu mencalonkan diri sebagai presiden dan banyak orang memiliki ambisi untuk itu," ujar Ghassan Khatid, pengajar politik di Universitas Birzeit Tepi Barat dan seorang mantan menteri, yang memandang bahwa Fatah, meski memiliki masalah citra dan juga tuduhan korupsi yang terus merongrong, akan bisa mengalahkan Hamas.

Lima hingga enam nama terus menerus didengungkan oleh para pejabat Palestina, diplomat Eropa dan Amerika serta pihak lain.

Pemimpin masa depan

Salah satu yang paling terkenal adalah Majid Faraj, kepala dinas rahasia Palestina, yang dipuji oleh Amerika Serikat, termasuk CIA, karena membantu penangkapan Abu Anas al-Libi yang dicari karena terkait pemboman kedutaan Amerika Serikat di Libya pada 1998.

Faraj, yang berusia 50-an tahun diajak terlibat dalam perundingan dengan Israel dan Amerika, sangat dihormati oleh kedua negara.

Faraj yang fasih berbahasa Ibrani pernah dipenjara di Israel selama enam tahun dan dianggap sebagai tokoh pragmatis yang cerdas dengan perilaku "selalu melaksanakan" seperti seorang jenderal.

Kelemahannya adalah dia besar di satu tempat pengungsi di pinggir kota Bethlehem sehingga dihormati di kalangan bawah Palestina, namun dia tidak memiliki pendukung politik dan tidak bisa berbicara bahasa Inggris secara baik sehingga jangkauan internasionalnya terbatas.

"Amerika menyukainya dan Israel pun menyukainya," ujar Rumley dari Yayasan Pembelaan Demokrasi. "Dia membawa stabilitas dan keamanan - yang pada dasarnya adalah kebijakan Amerika Serikat - menciptakan ketenangan dan mempertahankan status quo."

Tokoh yang lebih radikal yang sering dibicarakan adalah Marwan Barghouti, pemimpin dua aksi perlawanan atau intifada melawan pendudukan Israel, sehingga divonis oleh Israel bertanggungjawab atas lima kasus pembunuhan dan dijatuhi lima kali hukuman seumur hidup.

Seringkali warga Palestina berharap Barghouti akan dibebaskan sebagai bagian dari hasil perundingan pembebasan tahanan dengan Israel, namun kemungkinan akan hal ini kecil.

Akan tetapi ada kemungkinan dia terpilih meski dipenjara, sehingga para pendukung Barghouti bisa menyamakannya sebagai tokoh Nelson Mandela, meski dia tidak pernah menolak kekerasan sebagai alat politik, tidak seperti Mandela.

Ketika ditanya oleh Reuters mengenai kemungkinan dia menjadi seorang pemimpin, Barghouti menjawab secara tertulis dari penjara: "Kepemimpinan Palestina sejauh ini gagal menciptakan kebebasan, hak kembali ke tanah air dan kemerdekaan. Rakyat berhak memilih pemimpin yang dianggap mampu mewujudkan keinginan mereka dalam pemilu yang bebas, adil dan demokratis."

Calon pemimpin ketiga adalah Fayyad, 62 tahun, mantan perdana menteri, berhasil membangun basis pendukung dan menjadi penantang.

Tetapi dia lebih dianggap sebagai seorang teknokrat - dia mantan pejabat IMF- daripada seorang politisi, dan gaya kepemimpinannya seringkali sulit dimengerti oleh khalayak ramai.

Tokoh lain yang sering disebut-sebut sebagai calon pemimpin adalah Jibril Rajoub, mantan kepala keamanan dalam negeri Palestina dan seorang tokoh senior di Fatah yang sekarang memimpin Asosiasi Sepakbola Palestina dan anggota Komite Olimpiade.

Gaza yang kini hancur akibat konflik dengan Israel dikendalikan oleh Hamas (Reuters/Mohammed Salem)


Meski dia tidak pernah takut mencampur politik dan olahraga, orang-orang di sekitarnya menganggap karir politik Jibril telah habis.

Dengan demikian tinggal dua orang yang menjadi calon pemimpin Palestina.

Dua orang dengan latar belakang dan gaya berbeda yang bisa menjadi kandidat kuat: Mohammed Dahlan dan Mohammed Shtayyeh.

Shtayyeh, 56, adalah pakar ekonomi yang pandai dan tertata rapi dengan gelar Doktor dari Universitas Sussex, Inggris.

Karir politiknya berkembang di Fatah dan ikut serta dalam perundingan dengan Israel. Shtayyeh sekarang mengepalai dana investasi dan pembangunan Palestina yang membuatnya menjadi penentu ekonomi yang penting.

"Shtayyeh bisa menjadi calon utama," kata Rumley. "Jika ada proses pemilihan pemimpin Palestina berikutnya, Shtayyeh adalah pilihannya."

Dahlan, 52, mantan ketua Fatah di Gaza yang pernah dekat dengan Inggris dan Amerika Serikat.

Bintangnya tampak pudar ketika milisinya yang didanai Amerika Serikat dihancurkan oleh militan Hamas pada 2007, tetapi dia muncul kembali di Uni Emirat Arab dimana dia menggalang dana besar untuk kepentingan Palestina dan menjadi duri di kubu Abbas karena sering mengkritik kepemimpinan pemimpin Palestina itu.

Dana dan karisma, masa kecil di Gaza dan kemampuannya di bidang politik dan militansi membuat Dahlan merupakan kekuatan besar, tetapi pesaingnya menuduh dia terlalu dekat dengan Israel dan Amerika dan dianggap sering memainkan terlalu banyak kepentingan yang saling bersaing.

Seorang diplomat Eropa yang pernah berhubungan dengan Dahlan mengatakan tokoh ini tampaknya tidak tertarik dengan jabatan presiden.

"Dia seorang dalang," kata diplomat itu. "Dia lebih suka memainkan tali di atas kepala siapapun yang nanti menjadi presiden."

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER