Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan warga etnis Rohingya mendapatkan status kewarganegaraan mereka untuk pertama kalinya setelah sebelumnya jutaan kelompok minoritas ini telah ditolak permohonan statusnya oleh pemerintahan Myanmar.
Seperti diberitakan Reuters, sekitar 40 Rohingya termasuk dalam 209 umat Islam yang mendapatkan status warga negara, sisanya adalah etnis minoritas Muslim Kaman. Tidak disebutkan alasan pemberian status tersebut.
Saat ini menurut kementerian imigrasi Myanmar, ada sekitar 1.094 umat Muslim yang ikut dalam proses perdana permohonan kewarganegaraan di kamp pengungsi Myebon, sekitar 51 kilometer dari kota Sittwe dan hanya bisa ditempuh menggunakan perahu boat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Aung Win, pemimpin komunitas Rohingya di Sittwe, banyak yang menolak untuk ikut dalam proses verifikasi permohonan warga negara karena tidak ingin dikenali sebagai orang Rohingya.
Pemerintah Myanmar masih menjuluki mereka Bengali, atau warga keturunan Bangladesh, negara nenek moyang mereka, kendati etnis ini telah beberapa generasi lahir dan tinggal di Myanmar.
Diperkirakan ada sekitar 800.000 Rohingya di Myanmar, kebanyakan tinggal di negara bagian Rakhine di barat negara tersebut.
Mereka kerap menjadi sasaran kekerasan oleh kelompok etnis lainnya. Tahun 2012, puluhan Rohingya tewas dalam bentrokan dengan warga mayoritas Buddha, ribuan rumah warga Rohingya dan masjid dibakar, 140.000 orang terpaksa mengungsi di kamp-kamp darurat dan menempuh perjalanan laut berbahaya menuju negara lain.
Rohingya hidup tidak tentu arah karena tidak punya status yang jelas, tidak heran lembaga Amnesty International menjuluki mereka sebagai "pengungsi paling teraniaya di dunia."
Pemerintah Myanmar berkali-kali menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara, termasuk tokoh pro-demokrasi peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang enggan berkomentar soal etnis ini.
Badan PBB yang bekerja di Myanmar bahkan tidak bisa menyebutkan kata "Rohingya" agar tidak memicu kemarahan pemerintah serta tokoh agama di Rakhine yang akan mempersulit kerja mereka dalam menyalurkan bantuan.
Juni lalu, Myanmar menuntut UNICEF untuk meminta maaf karena menggunakan kata Rohingya selama presentasi rencana pengembangan bantuan.
Menurut David Mathieson, peneliti senior Myanmar di Human Right Watch, tindakan PBB yang menuruti desakan pemerintah malah akan semakin membuat Rohingya terpojok.
"Ini bukan cara praktis untuk memastikan bantuan dan pembangunan jangka panjang, tapi ini adalah bentuk pelanggaran sistematis terhadap kelompok minoritas yang dilakukan secara diam-diam," kata Mathieson.