Amerika Serikat adalah penyumbang pemanasan global terbesar, dampaknya justru dirasakan negara Afrika.
Jakarta, CNN Indonesia -- Lebih dari 120 pemimpin negara di dunia akan menghadiri KTT Iklim di markas PBB New York pada Selasa (23/9) yang diharapkan menelurkan kebijakan konkret dalam mengatasi perubahan iklim.
Di antara kepala negara yang tidak hadir adalah Tiongkok, India, Australia dan Kanada, yang diwakili oleh wakil atau menteri luar negeri. Keempat negara ini masuk di antara penyumbang terbesar pemanasan global.
Menurut laporan Universitas Concordia yang diterbitkan di jurnal Environmental Research Letters awal tahun ini, keempat negara di atas masuk dalam 10 besar penyumbang perubahan iklim di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian tersebut mengulas soal kontribusi negara-negara dalam pemanasan global yang terjadi sebelum tahun 2005.
Indonesia, Prancis dan Jerman, masuk di posisi 7 hingga 10 negara penyumbang emisi gas karbon terbesar.
Sementara tujuh negara terbesar yang menyumbang 60 persen pemanasan global nomor wahid adalah Amerika Serikat, disusul Tiongkok, Rusia, Brasil, India, Jerman dan Inggris.
Menurut penelitian tersebut, negara-negara ini menyumbang lebih dari 60 persen pemanasan global sebelum tahun 2005 dan AS menyumbang peningkatan suhu bumi hingga 0,15 derajat celcius atau hampir 20 persen dari peningkatan temperatur planet ini.
Kebanyakan negara penyumbang pemanasan global berasal negara-negara maju di belahan bumi utara, namun menurut laporan lembaga peringkat perbankan Standard & Poor dampaknya justru dirasakan oleh negara-negara di selatan.
Menurut S&P negara yang paling rapuh terkena dampak perubahan iklim adalah Kamboja, Vietnam dan Bangladesh, Sementara yang paling aman dari pemanasan global adalah Luxemburg, Swiss, dan Australia.
Dalam daftar 20 negara paling rentan perubahan iklim kebanyakan berasal dari Afrika dan Asia.
Pengukuran S&P berdasarkan tiga hal, yaitu persentase populasi nasional yang tinggal di dataran setinggi lima meter di atas permukaan laut atau di bawahnya, pemasukan ekonomi dari sektor pertanian (karena pertanian bergantung pada cuaca) dan kemampuan tiap negara untuk beradaptasi.
"Negara maju hanya merasakan dampak kecil dari perubahan iklim, namun negara miskin yang akan dapat imbasnya. Ini karena ketergantungan mereka terhadap produksi dan pekerja tani, yang rentan terhadap cuaca ektrem dan perubahan pola iklim, juga karena kapasitas finansial yang lemah dalam menghadapi kerugian," ujar laporan S&P, Juni lalu, dikutip dari International Business Times.
KTT Iklim 2014 di New York diharapkan tidak akan berakhir seperti KTT serupa di tahun 2009 di Kopenhagen yang gagal mencapai komitmen mengikat untuk mengurangi pemanasan global.
Saat itu, KTT hanya mengakui bahwa pemanasan global adalah tantangan terbesar saat ini dan harus segera dilakukan aksi untuk mempertahankan peningkatan suhu agar tidak melampaui 2 derajat celcius. Namun keputusan itu tidak berimplikasi secara hukum untuk mengurangi emisi CO2.
Utusan khusus PBB untuk perubahan iklim, Mary Robinson mengatakan bahwa PBB tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
"Situasinya kini berbeda dengan yang di Kopenhagen. Tekanan pada para pemimpin untuk membuat kesepakatan telah dibangun sejak lebih dari 12 bulan sebelumnya. Saya yakin mereka menyadari bahwa mereka membutuhkan perubahan," kata Robinson.