Jakarta, CNN Indonesia -- Perubahan iklim yang meningkatkan suhu bumi berpotensi membuat angka bencana banjir meningkat di masa depan, salah satu negara yang paling rawan banjir menurut penelitian terbaru adalah Indonesia.
Dalam hasil penelitian terbaru yang dirilis Climate Central (23/9) soal analisa peningkatan level air laut dan banjir pesisir, ditemukan bahwa 147-216 juta orang akan tinggal di daerah yang berada di bawah permukaan laut yang rawan banjir pada akhir abad ini, jika tingkat emisi gas buang masih seperti sekarang.
Negara-negara Asia mendominasi dalam 10 besar negara yang paling terancam banjir di masa depan, yaitu Tiongkok, Vietnam, Jepang, India, Bangladesh, Indonesia, Thailand, Belanda, Filipina dan Myanmar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiongkok -negara berpopulasi terbesar dan salah satu penghasil emisi karbon terbesar- menempati nomor wahid dengan 50 juta orang yang akan terkena banjir, sementara di Indonesia ada 10 juta orang, atau 4 persen dari populasi yang terancam bencana banjir di masa depan.
Belanda satu-satunya negara Eropa di 10 besar terancam banjir dengan 40 persen daerahnya yang akan berada di bawah permukaan laut. Namun negara ini memiliki sistem penanganan banjir yang canggih sehingga risiko bisa diminimalisir.
Amerika Serikat sebagai negara penghasil gas karbon terbesar dunia per kapita menempati posisi 11 dengan 3 juta warga terancam banjir, atau hanya sekitar 1 persen dari populasi.
Total menurut Climate Central, sekitar 2,6 persen populasi dunia, sekitar 177 juta orang akan tinggal di daerah rawan banjir dalam 100 tahun mendatang, jika kondisi lingkungan masih seperti sekarang.
Namun walaupun dilakukan perbaikan dengan mengurangi tingkat emisi, minimal akan ada 1,9 persen populasi dunia yang terdampak banjir. Jika kondisi lingkungan semakin parah, maka paling ekstrem banjir akan menimpa 3 persen dari populasi dunia.
Para ahli iklim memang telah lama memprediksi banjir yang kian parah menyusul mencairnya es di kutub akibat pemanasan global dan meningkatkan level air laut.
Penelitian ini dilakukan menggunakan data dataran dari Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dan laporan dikeluarkan jelang pertemuan KTT iklim di markas PBB New York pekan ini.