Jakarta, CNN Indonesia -- Kohinoor (20) seorang warga suku Rohingya yang tidak diakui negara, berharap dapat membangun kehidupan baru setelah melarikan diri dari rumahnya akibat gelombang konflik dengan penduduk mayoritas Buddha di Myanmar.
Kohinoor melarikan diri Myanmar dua tahun lalu dengan putrinya yang berusia dua tahun dan keluarga kakaknya.
Kohinoor harus menempuh perjalanan selama berhari-hari dengan sedikit makan minum dan membahayakan nyawanya setelah diselundupkan melintasi perbatasan oleh para pedagang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi ia dan keluarganya tidak membayangkan sebelumnya akan menjalani kehidupan miskin dan penuh diskriminasi lagi di India, tempat yang mereka pilih sebagai tujuan pengungsian.
"Kami diusir dari Burma (Myanmar). Kami diusir dari Bangladesh. Sekarang kami berada di India, tapi orang-orang di sini mengatakan bahwa India bukan negara kami. Jadi ke mana kami harus pergi?" kata Kohinoor kepada Reuters saat ditemui di tenda darurat yang berada di hamparan gurun Delhi selatan.
"Kami tidak memiliki permukiman. Anak-anak tidak pergi ke sekolah-sekolah pemerintah karena mereka menolak kami. Ketika kita ke rumah sakit pun begitu," kata Kohinoor.

Menurut Dominik Bartsch dari lembaga pengungsi PBB di India, UNHCR, perlakuan India terhadap pengungsi tergantung dari hubungan dengan negara asal para pengungsi tersebut.
Untuk pengungsi Tamil dan Tibet, contohnya, diberikan beberapa hak-hak dan dukungan. Namun Rohingya hanya diakui UNHCR yang tidak punya kekuatan mengikat di sebuah negara.
"Ada perbedaan perlakuan terhadap pengungsi. Tergantung dari kapan mereka datang dan hubungan bilateral dengan negara asal. Ini adalah dua faktor yang menentukan sikap India terhadap para pengungsi," kata Bartsch.
Meskipun minoritas Rohingya telah tinggal selama beberapa generasi di negara bagian barat Myanmar, Rakhine, pemerintah yang mayoritas pemeluk Buddha mengeluarkan peraturan kewarganegaraan tahun 1982 yang menolak minoritas Rohingya memiliki kartu identitas penduduk negara.
Tanpa kartu identitas kependudukan, minoritas Rohingya tidak dapat mengurus hak sebagai warga negara seperti pernikahan, kelahiran, pendidikan dan pemilihan umum.
Ratusan tewas dalam kekerasan antara umat Buddha dan Rohingya yang terjadi pada 2012.
Situasi semakin memburuk dalam dua tahun terakhir sehingga lebih dari 86.000 Muslim Rohingya mengungsi untuk menyelamatkan diri ke Thailand, Malaysia, India dan Bangladesh.
Minoritas Rohingya merupakan sebagian dari 10 juta orang "penduduk hantu" tanpa kewarganegaraan di seluruh dunia.
Penderitaan mereka akan dibahas dalam forum global pertama mengenai kewarganegaraan "penduduk hantu" di Den Haag pada hari Senin nanti, menjelang kampanye PBB yang akan dilakukan pada November untuk memberantas "penduduk hantu" di seluruh dunia dalam satu dekade terakhir.
India yang memiliki 30.000 pengungsi yang terdaftar, tidak mempunyai aturan hukum pencari suaka, sehingga sulit bagi para pengungsi untuk menggunakan hak kewarganegaraan.
Di Delhi sendiri ada sekitar 9.000 Rohingya, ribuan lainnya yang tidak terdaftar tersebar di beberapa bagian negara itu, seperti di Jammu dan Hyderabad.
Kebanyakan mereka tinggal di tenda plastik di pinggir jalan atau tanah kosong sebelum akhirnya diusir oleh polisi atau warga setempat.
"Saya tidak mengerti hukum. Semua negara mengusir kami seperti bola saja. Dari satu negara ke negara lainnya, mereka mempermaikan kami. Kami ingin dunia ambil sikap soal nasib kami. Kami ingin sebuah tanah di negara yang bisa kami sebut rumah," kata Kohinoor.