Jakarta, CNN Indonesia -- Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB, akan meluncurkan kampanye besar-besaran untuk mengatasi krisis kewarganegaraan jutaan orang yang tidak diakui oleh satu negara pun yang meningkat selama 10 tahun belakangan ini.
"Seharusnya di abad ke-21 ini sudah tidak ada lagi orang yang tidak diakui negara," kata Volker Turk, kepala perlindungan internasional di Badan Pengungsian Dunia (UNHCR) pada pertengahan bulan kemarin.
Turk mengatakan membiarkan orang menderita tanpa kewarganegaraan adalah perbuatan amoral dan tidak etis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga memperingatkan keadaan yang berlarut-larut ini bisa memicu konflik.
UNHCR berencana meluncurkan kampanye ini pada 4 November mendatang.
Orang tanpa kewarganegaraan selama ini tidak mendapat hak dari negara dan kesulitan mendapatkan pekerjaan, mengakses perawatan kesehatan hingga menyekolahkan anak.
Selain itu, mereka juga rentan akan eksploitasi, termasuk perbudakan dan pelacuran.
Populasi orang tanpa kewarganegaraan sangat tinggi di Myanmar, Pantai Gading, Thailand, Nepal, Kuwait, dan negara-negara pecahan Uni Sovyet.
Orang-orang ini tidak diakui negara karena banyak alasan, antara lain masalah sejarah, sosial, dan hukum.
Di Myanmar kekerasan terhadap Rohingya, kelompok muslim yang tidak diakui oleh pemerintah, memicu puluhan ribu orang mengungsi.
Banyak dari mereka yang tenggelam dalam perjalanan mengungsi lewat laut dan dieksploitasi oleh pemilik kapal pelaku bisnis penyelundup manusia.
Selain itu, masalah identitas juga turut memicu perang di Pantai Gading.
Dipu Jaisi Chettri, seorang warga yang tidak memiliki kewarganegaraan, mengaku selalu mengalami penolakan seumur hidupnya.
Dia terpaksa meninggalkan Bhutan, tumbuh dewasa di India, dan kini bertahan hidup di Inggris.
"Rasanya seperti terlahir sebagai kriminal," kata Dipu pada Reuters.
"Ketika mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewarganegaraan, beberapa orang memperlakukan seperti saya berasal dari dunia yang berbeda," lanjutnya.
Empat tahun belakangan banyak negara yang ikut berkomitmen pada konvensi PBB mengenai masalah ini jika dibandingkan dengan 40 tahun setelah perjanjian ini dicanangkan.
Selain itu, puluhan negara juga mengamandemen undang-undang kewarganegaraan yang diskriminatif yang menghalangi perempuan menurunkan kewarganegaraan kepada anaknya yang merupakan salah satu penyebab terbesar masalah ini.