KOLOM

Islamofobia, Penyebab Sentimen Anti-Rohingya

CNN Indonesia
Kamis, 25 Sep 2014 17:53 WIB
Apa yang sebenarnya memicu perlakuan diskriminatif kepada etnis Rohingya? Apakah karena mereka keturunan bangsa Bengal, ataukah kerena memeluk agama Islam?
Kekerasan anti-Rohingya tidak seharusnya diperlakukan terpisah dari sentimen anti-Muslim di Myanmar.
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Naypyidaw, CNN Indonesia -- Kekerasan terhadap etnis Rohingya merupakan bagian dari Islamophobia yang menyebar luas di Myanmar.

Etnis Rohingya seringkali dipandang dari agama yang dianut mereka, bukan dari latar belakang nenek moyang mereka yang telah tinggal di Myanmar sejak lama.

Perselisihan antara etnis Rohingya dan Bikshu Rakhine sudah lama tercatat di sejarah Myanmar, dan kerap terjadi sepajang dekade 1990, tahun 2001 dan 2003.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, masalah ini baru mencuri perhatian internasional sejak kerusuhan Juni 2012.

Sejak 2012, ketegangan antar dua kelompok agama yang sebelumnya hanya terjadi di wilayah Rakhine menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru Myanmar.

Terdapat beberapa pemicu sentimen Islamophobia di Myanmar yang mulai meningkat sejak 2012. Pertama, pembebasan pendeta Buddha radikal Ashin Wirathu yang kemudian membentuk Gerakan 969 yang menyebarkan sentimen Islamophobia.

Gerakan 969 yang dibentuk pada 2012, menyebarkan propaganda bahwa umat Muslim yang hanya berjumlah empat persen dari seluruh populasi Myanmar akan menjadi kelompok mayoritas di negara itu.

Gagasan kebangkitan umat Muslim di Myanmar didukung oleh fakta bahwa di kawasan Rakhine, populasi etnis Rohingnya cukup besar, yaitu sekitar satu juta dari total tiga juta penduduk.

Kedua, penghapusan sensor media pada 2011 oleh pemerintahan quasi-sipil membuka kemungkinan penyalahgunaan media sosial untuk menyebarkan propaganda anti Rohingya dan anti Muslim.

Bentuk penyalahgunaan sosial media tercermin dari kerusuhan yang terjadi Juli lalu di Mandalay. Bentrokan massa kedua kelompok terjadi hanya karena berita bohong soal pelecehan gadis Buddha oleh bosnya yang beragama Islam menyebar di sosial media.

Ketiga, serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat oleh kelompok teroris Islam al-Kaidah menebarkan ketakutan di seluruh dunia, termasuk Myanmar. Front Patriotis Rohingya, atau yang juga dikenal dengan Organisasi Solidaritas Rohingya menggandeng Organisasi Nasional Rohingya Arakan (ARNO) untuk membentuk Uni Arakan Rohingya (ARU) dan menyebarkan semangat separatisme dari pemerintah Myanmar.

Tuntutan memisahkan diri kelompok Muslim itu semakin menyebarkan sentimen anti-Muslim di kalangan umat Buddha Myanmar, yang kemudian diperburuk oleh propaganda Gerakan 969.

Keempat, sikap pemerintah Myanmar yang mencabut status kewarganegaraan sejak 1982 membuat etnis Rohingya menjadi sasaran empuk diskriminasi. Etnis Rohingya selalu disebut sebagai kaum Bengali dari Bangladesh dan dianggap sebagai kelompok terkutuk karena membentuk gerakan militan.

Kelima, perlu kita ingat bahwa bentrokan massa pada Juni dan Oktober 2012 yang dipicu oleh sentimen Islamophobia tidak hanya terjadi di Rakhine, namun juga di dua kota besar lain, yaitu Yangon dan Mandalay.

Kerusuhan yang terjadi di Yangon pada 2013 tidak hanya menyasar etnis Rohingya, namun juga umat Muslim dari berbagai etnis lain yang tinggal di daerah itu.

Berdasarkan catatan, korban yang tewas terbunuh, diperkosa, dan diusir dalam kerusuhan itu berasal dari berbagai etnis Muslim lain, seperti Kaman dan Barmar.

Dapat disimpulkan, serangan yang dipimpin oleh kelompok radikal Buddha diarahkan pada umat Muslim terlepas dari apapun etnisitas mereka.

Kekerasan anti-Rohingya tidak seharusnya diperlakukan terpisah dari sentimen anti-Muslim di Myanmar. Sentimen anti-Muslim tak hanya berdampak kepada etnis Rohingya, namun juga kepada semua Muslim di Myanmar.

Catatan ini mengimplikasikan solusi terbaik untuk masalah diskriminasi etnis Rohingya harus ditangani bersama dengan sentimen anti-Muslim.

--
Aparupa Bhattacherjee adalah Peneliti di Program Penelitian Asia Tenggara, Insitut Penelitian Kedamaian dan Konflik (IPCS) dan penulis kolom di Eurasiareview.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER