Jakarta, CNN Indonesia -- Protes besar yang digelar di Hong Kong memicu aksi solidaritas dari masyarakat Tibet di pengasingan, didasarkan pada penderitaan yang sama sebagai wilayah yang terkungkung peraturan ketat dari pemerintahan Tiongkok.
Pekan lalu, aksi besar warga Tibet dilakukan di Amerika Serikat, Inggris dan India, mendukung "Revolusi Payung" di Hong Kong. Mereka mendesak Tiongkok memberikan kebebasan penuh kepada Hong Kong untuk menggelar pemilu demokratis pada 2017.
"Di London, New York, para pendukung Tibet menunjukkan solidaritas pada perjuangan Hong Kong, dan aksi lainnya juga digelar di Dharamsala, India, tempat komunitas Tibet pengasingan terbesar di dunia dan tempat Pusat Administrasi Tibet dan Dalai Lama berlokasi," kata Alistair Currie, juru bicara lembaga Free Tibet, dikutip dari International Business Times.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pendukung Tibet punya solidaritas yang sama dengan pendukung demokrasi dimana pun dan berharap aksi di Hong Kong akan memberi pelajaran pada Tiongkok bahwa protes adalah untuk perubahan dan bukan merupakan ancaman," lanjut Alistair lagi.
Menurut Tenzin Jigdal, aktivis Tibet di Dharamsala, India, antara Hong Kong dan Tibet punya kesamaan, yaitu sama-sama berada di bawah kekuasaan pemerintah Tiongkok yang otoriter.
"Kesamaan kami dengan masyarakat Hong Kong adalah kami sama-sama berjuang untuk kebebasan dan keadilan melawan rezim otoriter yang selalu melanggar janji mereka, lagi dan lagi," kata Jigdal, dikutip dari New York Times.
 Dalai Lama mengungsi ke India saat Tiongkok melakukan invasi ke Tibet. (Reuters/Danish Siddiqui) |
Perlawanan Tibet terhadap TiongkokMenurut laman Free Tibet, kekuasaan Tiongkok di wilayah tersebut dimulai 63 tahun yang lalu, tepatnya saat Partai Komunis pimpinan Mao Zedong menginvasi Tibet tahun 1951, membunuh lebih dari 10 ribu orang.
Dalai Lama yang waktu itu baru berusia 15 tahun gagal untuk melakukan negosiasi dengan Tiongkok terkait penguasaan wilayah Tibet.
Dalam pertemuan dengan Dalai lama, Mao mengatakan bahwa "Agama adalah racun. Tibet dan Mongolia telah teracuni olehnya."
Pada tahun 1959, Tentara Pembebasan Rakyat, PLA, bentrok dengan pasukan perlawanan Tibet, rumah Dalai Lama diledakkan. Menyamar sebagai tentara PLA, Dalai Lama berhasil melarikan diri ke Dharamsala, India dan membentuk pemerintahan Tibet di pengasingan.
Diperkirakan 87 ribu rakyat Tibet tewas dalam Revolusi Budaya dan gerakan "Lompatan Jauh ke Depan" yang dicanangkan Mao.
Dalam skema tersebut, Mao punya rencana menghilangkan "empat hal kuno" yaitu ide kuno, budaya kuno, tradisi kuno dan kebiasaan kuno, demi menciptakan Tiongkok yang bersatu dalam modernisasi.
Akibatnya, ribuan biksu, biarawati dan warga sipil Tibet dipenjara, disiksa dan dibunuh hanya karena menjalankan tradisi agama Buddha, termasuk memakai pakaian tradisional, melakukan tarian adat, atau menyampaikan pandangan politik dan agama.
Diperkirakan lebih dari 250 ribu orang tewas di penjara dan kamp kerja paksa.
Perhatian internasional mengarah ke Tibet pada tahun 2008 saat digelar Olimpiade Beijing. Bentrokan antara massa anti-Tiongkok dan aparat diberitakan media seluruh dunia.
Penyerahan obor Olimpiade tertunda di London, Paris dan San Fransisco karena aksi protes aktivis pro-Tibet yang memiliki pendukung di seluruh dunia.
Bakar DiriAksi menuntut kemerdekaan juga terus dilakukan di dalam Tibet, seringkali dengan cara yang ekstrem, yakni membakar diri.
Menurut situs Save Tibet, sebanyak 132 warga Tibet di Tibet dan Tiongkok telah melakukan aksi bakar diri sejak 27 Februari 2009, sebagai bentuk perlawanan sekaligus sikap putus asa atas pendudukan Tiongkok.
Peristiwa terbanyak dalam sebulan terjadi pada November 2012 sebanyak 28 kasus, lebih dari 100 orang tewas dalam aksi ini.
Peristiwa terakhir terjadi pada Sabtu (4/10) di depan kantor polisi di Provinsi Qinghai, saat Kunchok, 42, menyiram diri dengan bensin dan menyulutnya.
Menurut Radio Free Asia yang mengutip keluarga Kunchok, ayah dari biksu dan biarawati ini melakukan aksi tersebut untuk memrotes pendudukan Tiongkok di Tibet.
"Sekarang dia sangat kesakitan. Dia kadang menangis karena tidak tewas dalam aksi bakar diri tersebut. Dia menyesal tidak berhasil melakukan rencananya," kata keluarga Kunchok.