Jakarta, CNN Indonesia -- Demonstrasi di Hong Kong membuat banyak pihak yang merasa hidup dalam tekanan Tiongkok angkat bicara.
Setelah aktivis Taiwan dan Tibet, kini masyarakat Uighur di pengasingan menyuarakan dukungan mereka terhadap perlawanan Hong Kong melawan Tiongkok.
Menurut pemimpin warga Uighur di pengasingan Kongres Uighur Dunia, Rebiya Kadeer, kepada Foreign Policy, protes di Hong Kong bisa berimplikasi pada warga Uighur di Xinjiang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika Hong Kong menang, maka juga akan menguntungkan Uighur, lalu Uighur bisa memperkuat gerakannya," kata Kadeer.
Uighur sebagai penduduk asli wilayah Xinjiang terpinggirkan oleh imigrasi besar-besaran etnis Han, mengakibatkan ketimpangan yang parah antara kedua etnis.
Hal ini akhirnya berujung pada bentrokan besar tahun 2009 yang menewaskan lebih dari 150 orang.
Masyarakat Uighur yang kebanyakan adalah Muslim sempat menikmati kemerdekaan pada tahun 1940an di bawah bendera Turkestan Timur, namun tidak bertahan lama setelah pemimpin Uighur menyatakan persatuan dengan negara komunis Tiongkok.
Pemerintah Beijing lantas menjadikan wilayah Uighur tersebut sebagai Wilayah Otonomi Xinjiang.
Tidak ada tanda otonomiRozimukhamet Abdulbakiev, mantan ketua organisasi nonpemerintah di Kyrgyzstan, Ittipaq, mengatakan bahwa nama "otonomi" tidaklah pantas disematkan pada Xinjiang.
"Walaupun Tiongkok memberikan Xinjiang status wilayah otonomi Uighur, namun sama sekali tidak ada tanda-tanda otonomi di tempat itu. Tidak ada hak-hak untuk warga Uighur di sana. Tidak ada," kata Abdulbakiev, dikutip dari Radio Free Europe 2009 lalu.
"Rezim totalitarian Tiongkok mengekang kebebasan berbicara, media, kepribadian, itulah mengapa rakyat bangkit untuk melawan," lanjut dia lagi.
TIME menuliskan, Tiongkok memberangus semua kebebasan beragama dan budaya bagi masyarakat Uighur.
Masyarakat Uighur di Xinjiang juga kerap dilarang bepergian ke luar Tiongkok, migrasi besar-besaran warga etnis Han membuat warga asli sulit mendapat pekerjaan.
Pada invasi ke Afganistan tahun 2001, Amerika Serikat menemukan banyak kamp pelatihan gerilyawan Uighur, menandai munculnya gerakan separatis radikal yang akan menjadi ancaman Tiongkok di masa depan.
Tahun ini, kelompok ekstrem Uighur melakukan penyerangan ke berbagai tempat, termasuk yang terparah adalah aksi penusukan di stasiun kereta Kunming yang menewaskan 33 orang pada Maret lalu.
Menurut para pengamat, munculnya gerakan radikal ini adalah reaksi dari kekuasaan otoriter Tiongkok dalam membatasi kebebasan beribadah, pembatasan warga Uighur pergi haji, larangan berpuasa bagi pegawai negeri Uighur pada bulan Ramadhan, dan penunjukkan imam masjid oleh Tiongkok yang ceramahnya telah didikte Tiongkok terlebih dahulu.
Kadeer mengatakan, Uighur memiliki kesamaan nasib dengan Hong Kong yang berada di bawah kuasa Tiongkok.
Namun bedanya, Hong Kong mendapatkan perhatian internasional karena liputan media yang luas di seluruh dunia. Sementara kekerasan di Uighur tidak terekspos karena pembatasan wartawan untuk memasuki wilayah tersebut.
Dengan perhatian internasional ini, Kadeer yakin Tiongkok tidak akan berani menggunakan kekerasan.
"Rakyat Hong Kong berjuang dengan cara damai. Pemerintah Tiongkok tidak bisa melawan mereka dengan kekerasan," kata pria yang menghabiskan 11 tahun di penjara Tiongkok sebelum akhirnya dibebaskan tahun 2005 dan membentuk organisasi Uighur di Amerika Serikat