Jakarta, CNN Indonesia -- Kebanyakan orang berpikir bahwa hukum syariah adalah sistem hukum Islam yang penuh kebencian terhadap wanita, tidak memiliki toleransi dan hukumannya sangat keras.
Sementara sebagian muslim berpendapat bahwa hukum syariah berperan penting sebagai penegak keyakinan dan isu kekerasan dalam hukum syariah hanya dibesar-besarkan oleh para anti-Islam.
Syariah adalah kata Arab yang secara harfiah berarti jalan yang harus diikuti. Istilah ini luas, baik meliputi pribadi manusia dan hukum agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syariah berasal dari dua sumber; Al-Quran, kumpulan firman langsung dari Tuhan, dan Sunah, rangkuman norma yang dilakukan Nabi Muhammad.
Syariah kemudian diterapkan juga sebagai fikih atau hukum dalam Islam. Jadi, hukum islam terdiri dari fikih dan syariah.
Fikih adalah buatan manusia sehingga aturanya dapat diubah, sedangkan syariah, bagi banyak Muslim, tidak dapat diubah.
Beberapa Muslim menggunakan istilah syariah untuk perintah yang diserukan dalam Al-Quran dan Sunah.
Meskipun sering dianggap sebagai sistem hukum, syariah juga mengatur keyakinan, karakter dan perbuatan.
Komponen keyakinan dalam hukum syariah memerintahan umat Islam untuk percaya pada Tuhan, malaikat, nabi, wahyu-wahyu yang turun dan ajaran mempertebal iman lainnya.
Dalam komponen karakter, hukum syariah mengatur Muslim untuk menghindari sifat bohong atau sombong serta mengajari untuk rendah hati dan berbuat kebaikan.
Komponen perbuatan yang diatur antara lain kewajiban shalat, puasa dan haji serta tindakan yang berkaitan dengan sosial seperti pernikahan, kejahatan dan ekonomi.
Beberapa hukum syariah mengenai tindakan yang berkaitan dengan manusia lain dapat diatur oleh negara, sedangkan tindakan yang berkaitan dengan Tuhan (begitu juga dalam keyakinan dan karakter) adalah urusan pribadi antara individu dan Tuhan.
Namun, beberapa negara mayoritas Muslim telah juga menjatuhkan hukuman terhadap kasus pelanggaran yang berkaitan dengan Tuhan.
Syariah mulai diberlakukan sejak abad kedelapan dan ke-10, sekitar 200 sampai 300 tahun setelah Muhammad menerima wahyu pertama.
Pada akhir abad ke-10, aturan syariah semakin banyak yang memperdebatkan, terutama para pelajar Islam yang menginterepretasikan syariah melalui pandangan yang baru dalam bentuk fatwa dan pendapat hukum.
Penafsiran syariah dilakukan oleh para ahli hukum yang disebut Fuqahaa.
Fuqahaa menafsirkan kapan dan di mana hukum syariah dapat diterapkan.
Hukum syariah dijalankan oleh hakim yang membagi level hukuman syariah menjadi wajib, dianjurkan, netral, boleh tapi dianjurkan dan dilarang.
Selama berabad-abad, ahli hukum Islam menulis pendapat mereka dalam buku-buku yang digunakan hakim dalam memutus perkara.
Pengadilan sekuler dan pengadilan syariah hidup berdampingan di wilayah Islam.
Pengadilan syariah seringkali digunakan untuk memutuskan masalah-masalah hukum keluarga.
Profesor Jan Michiel Otto dari Leiden University Law School di Belanda seperti yang dikutip dari Huffington Post membagi sistem hukum negara-negara Muslim ke dalam tiga kategori: sistem syariah klasik, sistem sekuler, dan sistem campuran.
Di negara-negara dengan sistem syariah klasik, syariah memiliki status resmi atau tingkat tinggi yang berpengaruh pada sistem hukum, mencakup; hukum keluarga, hukum pidana dan di beberapa tempat, hukum atas pelanggaran keyakinan pribadi seperti mangkir beribadah, murtad dan penghujatan agama.
Mesir, Mauritania, Sudan, Afghanistan, Iran, Irak, Maladewa, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, Yaman, dan daerah-daerah tertentu di Indonesia, Malaysia, Nigeria, dan Uni Emirat Arab menerapkan sistem syariah klasik.
Sistem sekuler atau campuran adalah yang sistem paling umum diterapkan di negara-negara bermayoritas Muslim.
Di sana secara umum syariah meliputi hukum keluarga, sementara pengadilan sekuler meliputi yang lain.
Aljazair, Comoros, Djibouti, Gambia, Libya, Maroko, Somalia, Bahrain, Bangladesh, Brunei, Jalur Gaza, Yordania, Kuwait, Lebanon, Malaysia, Oman, dan Suriah menerapkan sistem sekuler.
Di beberapa negara mayoritas Muslim; Burkina Faso, Chad, Guinea, Guinea-Bissau, Mali, Niger, Senegal, Tunisia, Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Albania, Kosovo, dan Turki, hukum syariah bahkan tidak diterapkan.
Beberapa negara seperti Eritrea, Ethiopia, Ghana, Kenya, Tanzania, Uganda, India, Israel, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan Inggris juga ada yang memiliki pengadilan hukum keluarga Islam bagi penduduk Muslim yang menjadi minoritas di sana.
Di Amerika Serikat, tidak ada pengadilan Islam, tapi kadang-kadang hakim harus mempertimbangkan hukum Islam dalam keputusan mereka.
Sebagai contoh, seorang hakim di AS terkadang harus mengakui keabsahan kontrak perkawinan Islam dari negara Muslim untuk memberikan perceraian di Amerika.
Beberapa ulama Islam berpendapat bahwa keyakinan Islam seharusnya tidak dapat dipaksakan oleh sebuah negara, dan oleh karena itu kepercayaan syariah hanya harus datang dari individu dan hukumnya pun tidak boleh diubah olnegara.
Namun, banyak dari hukuman ini dilakukan di luar konteks, dibatalkan atau hampir mustahil bukti untuk dilakukan.
Untuk seseorang yang akan dihukum karena perzinahan, misalnya, harus ada empat orang saksi atas tindakan, yang dapat dipercaya.
Al-Quran juga menyuruh untuk mengamputasi tangan pencuri, tetapi (dan ini sering terlupakan) tidak boleh dilakukan jika si pencuri telah bertobat.
Para ulama yang berpihak pada hukum syariah mengatakan bahwa seperti sistem hukuman syariah hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang berpendidikan dan bermoral tinggi untuk menghindari penyiksaan dan mencegah mengulangi kejahatan.
Dalam masyarakat seperti itu, hukuman fisik akan jarang dilakukan karena pemikiran yang sudah modern.
Banyak yang mengatakan, hukuman fisik telah digunakan oleh kelompok-kelompok Islam militan di tempat-tempat seperti Afghanistan, Somalia, dan Suriah, dan pemerintah di Iran, Arab Saudi, negara Aceh di Indonesia dan di tempat lain.
Hukum Syariah di IndonesiaDalam situasi dunia yang kian berkembang dan tatanan masyarakat modern, penerapan hukum syariah menjadi pertentangan di berbagai diskusi di Indonesia, karena dinilai banyak ketentuan di dalamnya yang merampas hak manusia sebagai seorang mahluk.
Pengamat Islam, Smith Al Hadar, menyatakan bahwa sebuah hukum seharusnya diproduksi sesuai dengan zamannya.
"Ada nilai yang harus diperhatikan untuk menerapkan suatu hukum, apakah sesuai dengan azaz kekinian atau tidak," ujar Hadar.
Hadar melanjutkan hukum sejatinya bersifat eksistensial yang lahir karena terdapat kesepakatan dari berbagai individu yang telah sadar terhadap perkembangan peradaban, dan perlunya membentuk suatu fondasi yang berfungsi sebagai penengah dari suatu permasalahan sosial.
"Hukum sejatinya adalah sebuah suplemen penyeimbang yang dibutuhkan oleh suatu negara dalam bermasyarakat," kata Hadar.
Menurut Hadar penerapan hukum syariah di Aceh dilakukan semata-mata karena rasa kedekatan warga Aceh dengan agama Islam, agama mayoritas di ujung Sumatera ini.
Penerapan hukum syariah di Aceh juga merupakan alat penguasa setempat untuk menunjukkan identitas keislamaan daerah yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekah.
"Namun bukan berarti semua warga Aceh paham akan hukum syariah. Banyak warga Aceh yang hanya tahu hukum syariah adalah hukum yang diterapkan di jaman nabi, tanpa tau substansinya seperti apa," kata Hadar menjelaskan.
Menurut Hadar seharusnya ada kajian mendalam tentang hukum syariah yang kemudian disepakati seluruh warga Aceh. Sehingga, hukum syariah dapat lahir dalam Undang-undang yang sesuai kultur Aceh.
"Saat ini demokrasi di Indonesia sedang dilihat oleh dunia internasional dan menjadi panutan banyak negara. Jangan sampai reputasi ini ternoda oleh salah satu daerah yang memberlakukan hukum yang tidak sesuai dengan kaidah zaman saat ini," ujar Hadar memungkas.