La Paz, CNN Indonesia -- Presiden Evo Morales, mantan petani koka yang terpilih untuk ketiga kalinya sebagai presiden Bolivia masa jabatan 2015-2020, menyatakan akan mengesampingkan rencana nasionalisasi di Bolivia dan realistis dalam kepemimpinan barunya nanti.
Kalangan bisnis di Bolivia sempat khawatir adanya babak baru nasionalisasi jika Morales kembali terpilih, khususnya di industri pertambangan dan perbankan, tetapi Morales menyanggah kekhawatiran tersebut pada Senin (13/10).
Saat ini di Bolivia, sebagaian besar perusahaan tambang sudah dimiliki negara, hanya sebagian kecil yang masih dimiliki perusahaan swasta yang menjadi rekan pemerintah, oleh karena itu Morales enggan fokus di nasionalisasi lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Morales juga tidak berencana untuk melakukan nasionalisasi di sektor perbankan.
"Kami tidak akan menasionalisasi, namun bernegosiasi dengan pihak perbankan. Biarkan perbankan swasta yang sedang produktif ini membayar kewajiban pajak untuk Bolivia," kata Morales, seperti yang dikutip Reuters.
Morales, yang berasal dari suku Aymara Indian dan menjadi presiden pribumi pertama Bolivia pada tahun 2006, kembali memenangkan pemilu yang dilaksanakan pada Minggu (12/10) dengan jumlah dukungan sebanyak 60%.
Pengumuman presiden terpilih Bolivia sempat tertunda hingga Senin malam karena masalah teknis, tapi jajak pendapat di televisi setempat menyatakan kalau Morales menang dari pesaingnya, seorang pengusaha semen, Samuel Doria Medina.
Jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa Morales yang didukung partai Sosialis memenangkan suara di delapan dari sembilan wilayah di Bolivia, termasuk Santa Cruz, wilayah paling makmur yang menjadi basis kubu oposisi.
Program anti-kemiskinan dan kebijakan pengelolaan dana hasil nasionalisasi bisnis gas dan minyak alami di Bolivia, membuat Morales mendapat dukungan dari rakyat Bolivia.
Formula kemenanganSelama dua semester pertama, melalui kepemimpinannya Morales telah berhasil menumbuhkan ekonomi rata-rata Bolivia lebih dari lima persen per tahun serta menghindari surplus fiskal, meskipun saat itu ia sedang meluncurkan program anti-kemiskinan.
Meskipun Morales berasal dari kubu sosialis dan mendedikasikan kemenangan ketiganya untuk pemimpin revolusi Kuba, Fidel Castro, Morales lebih pragmatis daripada beberapa sekutunya mengenai kebijakan ekonomi negara.
"Kami tidak akan meninggalkan prinsip dan nilai kami. Namun kami lebih realistis dan praktis," kata Morales kepada Reuters.
Michael Shifter, president of the Washington-based Inter-American Dialogue think-tank, meramalkan kalau formula kepemimpinan Morales tidak akan berubah banyak dalam lima tahun ke depan.
"Morales telah menemukan formula kemenangan di masa jabatannya yang kedua dan ia akan kembali mencobanya di masa yang ketiga," kata Shifter.
Ekonomi di tangan Morales memang mengalami keberhasilan saat harga gas alam meningkat, sehingga Morales dapat melakukan program-program sosial tanpa merusak stabilitas fiskal.
Shifter meragukan momen keberhasilan ekonomi Bolivia akan bertahan jika mengacu pada keberuntungan tersebut dan mempertanyakan apa langkah lebih lanjut Morales untuk mengembangkan ekonomi Bolivia ke depan.
Banyak kritik yang mengatakan bahwa Bolivia akan tetap menjadi salah satu negara termiskin di benua Amerika di bawah kepemimpinan Morales, karena ia adalah pemimpin yang kerap menggunakan kekuasaannya untuk melakukan kontrol atas peradilan.
Tapi para pemilih dari kelas pekerja melihat mantan pemimpin serikat buruh tersebut sebagai simbol kemajuan negara dalam beberapa dekade terakhir.
"Kami melihat Morales telah membawa Bolivia ke tempat yang sepantasnya," kata penjual koran berusia 50 tahun Guillermo Mansilla di La Paz, kepada Reuters, Senin (13/10).