Jakarta, CNN Indonesia -- Korea Utara membebaskan Jeffrey Fowle, satu dari tiga warga Amerika Serikat yang ditahan di kamp kerja paksa pada Selasa (21/10).
Menurut juru bicara Gedung Putih, John Earnest, Fowle sudah diterbangkan ke keluarganya di Ohio. Gedung Putih menyambut langkah ini, namun tetap menekankan Pyongyang untuk membebaskan dua lainnya.
"Meski ini adalah langkah positif, kami tetap fokus untuk meminta Korea Utara agar membebaskan Kennteh Bae dan Matthew Miller," ujar Earnest.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fowle, 56, adalah pekerja konstruksi jalan dari Miamisburg, Ohio.
Ia ditahan pada Mei lalu ketika berkunjung ke Korea Utara sebagai turis, atas tuduhan meninggalkan kitab Injil, di Chongjin, Korea Utara. Dakwah agama adalah hal yang sensitif di negara komunis Korea Utara.
Matthew Miller ditahan pada April untuk kasus yang berbeda. Sedangkan Kennteh Bae, seorang misionaris keturunan Amerika-Korea, merupakan yang terlama ditahan sejak November 2012 dan dihukum 15 tahun kerja paksa.
Kakak perempuan Bae, Terri Chung, dalam pernyataannya, mengatakan keluarga mereka merayakan kebebasan Fowle, namun merasa sedih karena saudaranya tetap ditahan di kamp kerja paksa tanpa masa depan yang jelas.
"Kami memang kecewa karena Kenneth tidak ikut dibebaskan, namun kami tetap optimis, bahwa ini adalah pertanda baik untuk Kenneth," ungkapnya.
Korea Utara membebaskan Fowle dengan syarat pemerintah Amerika Serikat yang menerbangkannya keluar Korea Utara, dan menjadwalkan penjemputannya.
"Departemen Pertahanan menawarkan pesawat untuk itu," ujar Marie Harf, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat pada Reuters.
Seorang penumpang pada penerbangan lain di bandara Pyongyang mengatakan ia melihat sebuah pesawat militer, dengan bendera Amerika Serikat di bagian ekor, parkir di bandara pada Selasa (21/10) siang.
Tidak jelas mengapa Korea Utara secara tiba-tiba membebaskan Fowle.
Washington berkeras bahwa pembebasan tahanan seharusnya dilakukan tanpa syarat dan tidak berhubungan dengan dialog soal nuklir Korea Utara.
Victor Cha dari Pusat Studi Strategis dan Internasional, CSIS, di Washington mengatakan pembebasan Fowle sangat mengejutkan dan bisa menjadi pertanda akan tren diplomatik ke depan.
"Ini adalah hal yang mengejutkan, mengingat pendirian Korea Utara yang kaku dalam beberapa bulan terakhir. Di mata Korea Utara, kesalahan Jeffrey Fowle mungkin yang paling ringan (diantara ketiga tahanan lain), dan karena itu bisa dimaafkan," kata Cha.
Pulang ke rumahSetelah meninggalkan Korea Utara, pesawat Amerika Serikat yang membawa Fowle terbang ke Guam, di pulau Pasifik, yang menjadi pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat.
Pejabat Amerika menolak memberikan detil soal negosiasi pembebasan Fowle, kemungkinan karena tidak ingin merusak dialog untuk pembebasan Bae dan Miller selanjutnya.
"Kami akan membiarkan Korea Utara bicara sendiri mengapa mereka melakukan ini dan mengapa sekarang," ucap Harf.
Menurut Harf, pembebasan dimediasi oleh diplomat Swedia. Swedia memiliki perwakilan di Pyongyang dan bertindak sebagai 'perwakilan' Washington.
Stephen Haggard, ahli Korea Utara dari Universitas California di San Diego, mengatakan bahwa peristiwa ini bisa jadi merupakan cara Korea Utara untuk menunjukkan bahwa tindakan mereka 'masuk akal'.
"Korea Utara saat ini sedang menghadapi persoalan kompleks dan mereka diserang dari banyak arah," kata Haggard, menyebut soal pembicaraan Korea Utara dan Jepang soal warga Jepang yang diculik, serta pembicaraan tentang bentrok di perbatasan Korea Selatan baru-baru ini.