Jenewa, CNN Indonesia -- Badan PBB untuk hak-hak perempuan menuduh Tiongkok mencoba membungkam para pegiat karena beberapa dari mereka yang memberi kesaksian tentang jejak rekam negara itu "takut mendapat balasan" jika kembali ke Tiongkok.
Setidaknya satu orang pegiat perempuan dilarang berangkat ke Jenewa dengan dasar kebijakan "larangan bepergian" yang diterapkan oleh Tiongkok, dan beberapa pegiat lain menuduh laporan mereka telah disensor oleh "agen-agen pemerintah".
Badan ini mendesak pemerintah Tiongkok menghentikan praktek-praktek itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komite PBB untuk Pengentasan Diskriminasi terhadap perempuan, CEDAW, juga mendesak pemerintah Tiongkok menghentikan praktek aborsi paksa dan pembunuhan bayi perempuan berusia di bawah satu tahun.
Kesimpulan laporan yang dirilis pada Jumat (7/11) panel ini mendesak Tiongkok "mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi para pembela hak asasi perempuan termasuk mereka yang memberi informasi kepada Komitee ini dan memastikan mereka tidak dikenai larangan bepergian di masa depan."
"Perhatian utama kami adalah bahwa seluruh pembela hak asasi perempuan bebas dari ketakutan dan batasan," ujar Nicole Ameline, pakar asal Perancis yang duduk dalam panel PBB ini.
"Pembela hak asasi manusia memiliki peran penting dalam melawan praktek pembunuhan anak usia dibawah satu tahun," tambahnya.
Para pakar PBB dalam komite ini menyatakan bahwa upaya pemerintah Tiongkok untuk mengetahui jenis kelamin jabang bayi untuk alasan non-medis dan aborsi berdasarkan jenis kelamin jabang bayi, serta aborsi dan sterilisasi paksa menyebabkan situasi berupa "ketidakseimbangan rasio jumlah antara anak perempuan dan anak lelaki."
 Pemerintah Tiongkok mengatakan kebijakan satu anak berhasil mengurangi angka kelahiran sebanyak 400 juta sejak 1980. (Ilustrasi/Getty Images/China Photos) |
"Keprihatian Komite adalah praktek-praktek ilegal ini tetap ada… dan pembunuhan anak usia di bawah satu tahun, terutama anak perempuan yang cacat, belum benar-benar dilarang," tulis laporan ini
"Rahasia Negara"Para pemimpin komunis Tiongkok mengatakan kebijakan satu anak berhasil mencegah 400 juta kelahiran sejak 1980 di negara dengan hampir 1,4 miliar penduduk.
Para pengkritik kebijakan ini mengatakan hasil tersebut didapat dari aborsi paksa, pembunuhan anak kecil dan penjualan anak.
Meski pemerintah Tiongkok baru-baru ini mengendurkan kebijakan itu, kaum perempuan tetap menjadi sasaran denda, tidak mendapat cuti hamil dan kesulitan mendaftarkan anak mereka.
"Di Tiongkok, jumlah aborsi, kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan adalah rahasia negara," ujar Yoko Hayashi, angggota komite dari Jepang yang juga pelapor resmi panel itu untuk Tiongkok.
Data resmi mengenai kelahiran anak pertama memperlihatkan 118 anak lelaki dibanding 100 anak perempuan, padahal empat tahun lalu angkanya adalah 113 lelaki dan 100 perempuan, katanya.
"Tanpa pembunuhan jabang bayi, hal ini tidak mungkin terjadi," ujar Hayashi. "Aborsi berdasarkan jenis kelamin menjadi praktek umum."
Panel ini mendesak Tiongkok untuk "memastikan bahwa kaum perempuan memiliki akses ke hukum seperti memberi bantuan hukum untuk perempuan yang terlibat dalam perebutan tanah."
"Komite ini juga prihatin dengan laporan-laporan mengenai campur tangan di bidang yudisial yang sangat berdampak besar pada keputusan hukum, terutama dalam kasus perebutan tanah yang melibatkan perempuan," tulis laporan tersebut.