London, CNN Indonesia -- Pemerintah Inggris gagal mendeportasi seorang pemasok dana kepada kelompok al-Qaidah yang diduga terkait dengan serangan di Paris.
Baghdad Meziane (49), berhasil membatalkan rencana pemerintah Inggris untuk mengirimnya kembali ke kampung halamannya di Aljazair dengan payung hukum Undan-undang Hak Asasi Manusia.
Seperti dilansir Telegraph (17/1), Meziane pernah mendekam di penjara selama 11 tahun sejak 2003 karena terbukti memberikan dukungan kepada jaringan teroris. Setelah bebas pada 2009, pemerintah Inggris langsung menyusun rencana untuk mendeportasi Mezaine.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Mezaine menggunakan tameng UU HAM untuk mempertahankan izin tinggalnya di Inggris. Selama tinggal di Inggris, Mezaine dikaruniai dua orang anak. Mezaine kemudian berkilah bahwa deportasi akan melukai hak asasinya untuk hidup berkeluarga dan akan sangat menyiksanya.
Gagalnya deportasi ini menuai banyak kecaman dari tokoh Inggris. Menteri Kehakiman Inggris, Chris Grayling, beranggapan bahwa kasus ini menekankan pentingnya melakukan kajian ulang terhadap UU HAM.
"Tidak masuk akal membiarkan orang yang mengancam kehidupan kita menggunakan alasan hak asasi manusia untuk menghindari dikirim kembali ke kampung halaman mereka saat sudah jelas mereka tidak memiliki hak asasi sebagai warga negara kita," kata Grayling seperti dikutip Telegraph.
Senada dengan Grayling, Direktur Pusat Studi Keamanan dan Intelijen di Universitas Buckingham, mengatakan, "Definisi yang tepat dari legislasi hak asasi manusia adalah hak untuk terbebas dari teroris dan hak untuk pergi melakukan kegiatan tanpa takut diserang. Sangat tidak bisa diterima jika hal ini dilakukan atas nama Konvensi Eropa atas Hak Asasi Manusia."
Alasan yang dilontarkan Mezaine ini tak pelak menjadi ancaman baru bagi pemerintah untuk menangkal ancaman teroris.
Dalam sebuah pernyataan, mantan kepala badan intelijen MI5, Lord Evans of Weardale, mengatakan bahwa hukum anti-teror Inggris sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Kini, kelompok militan lebih mudah untuk merencanakan sebuah penyerangan dengan mengelabui intelijen dan kepolisian.
Dalam tulisannya di The Sunday Telegraph, Evans menyatakan sekarang aparat keamanan lebih sulit memantau apa yang dibicarakan antar-anggota teroris karena mereka merencanakan aksi mereka di internet. Untuk itu, Evans memandang pemberian kewenangan kepada agen intelijen untuk memonitor seluruh jaringan sosial media seperti Facebook, Whatsapp dan Snapchat, menjadi sangat penting.
Badan pengawas intelijen dari Parlemen akhirnya membocorkan rencana untuk menyisir hukum-hukum yang mengatur kewenangan MI5, MI6, dan GCHQ. Hasil dari proses telaah tersebut nantinya dituangkan dalam sebuah rencana revisi hukum yang akan dipublikasikan oleh badan intelijen dan Komite Keamanan. Pihak Parlemen mengaku akan ada reformasi yang sangat radikal untuk memungkinkan deteksi teknologi dalam menjangkau jaringan teroris.
Pimpinan komite pengawas, Sir Malcolm Rifkind, menjabarkan bahwa kewenangan baru agen intelijen tersebut dapat mencakup akses ke rekaman telepon genggam, surat elektronik, dan pesan internet.
Ketakutan keamanan ini mulai melanda Inggris sejak agen hukum Uni Eropa, Eropol, menyatakan bahwa serangan teror seperti yang terjadi di Perancis bisa jadi menimpa mereka juga. Direktur Europol, Rob Wainwright, berkata, "Sangat sulit untuk menghentikan semuanya, menghilangkan ancaman juga sangat sulit."
Europol mengestimasi sebanyak lima ribu orang melancong dari Eropa menuju Irak dan Suriah yang mungkin saja sudah diradikalisasi.
Mezaine sendiri memiliki pengaruh yang besar terhadap Cherif Kouachi, salah satu pelaku penembakan di kantor majalah satire Charlie Hebdo di Perancis. Ia juga menjalin ikatan erat dengan Beghal, pendidik Amedy Coulibaly, pelaku aksi teror di supermarket di Perancis setelah insiden Charlie Hebdo.
Sebelumnya, Mezaine bersama rekannya, Brahim Benmerzouga, pernah dijebloskan ke penjara di Inggris selama sebelas tahun karena mendanai terorisme dan kepemilikan paspor palsu. Setelah bebas, Benmerzouga dideportasi ke Algeria pada 2010, sementara Mezaine masih menikmati kehidupan di Inggris hingga detik ini.
(stu)