Gaza, CNN Indonesia -- Serangan militer Israel selama 50 hari pada pertengahan tahun lalu menyebabkan kerusakan yang parah pada bangunan-bangunan milik warga di Gaza, Palestina. Hingga kini, bangunan tersebut masih belum diperbaiki, membuat ribuan orang yang terpaksa hidup di pengungsian.
Seakan belum cukup penderitaan warga tinggal di tenda sederhana, kini musim dingin yang menggigit mulai menghantui kehidupan mereka. Rumah-rumah mereka yang hancur dihantam rudal Israel masih menganga temboknya dan bolong atapnya, atau sewaktu-waktu bisa roboh karena pondasi yang rusak.
Di antara reruntuhan rumahnya, terlihat Abu Sulaiman mengumpulkan kayu untuk dibakar, sekadar menjadi penghangat dan penerangan seadanya bagi keluarganya yang berjumlah 12 orang. Kayu bakar menjadi satu-satunya sumber panas karena listrik dan air masih mati di beberapa tempat di Gaza.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika kau punya 12 anggota keluarga di satu rumah dan hanya ada satu selimut, apa yang bisa kau lakukan? Ini sangat dingin," kata Sulaiman, dikutip Channel NewsAsia, Rabu (21/1).
Seperti ratusan rumah lainnya di Gaza City, kediaman Abu Sulaiman rusak parah akibat bombardir Israel musim panas lalu. Ada lubang besar di rumahnya, membuat air hujan masuk.
Istri Sulaiman, Insherah Abu Tawila, mengaku ini kali pertama keluarga mereka hidup kedinginan. "Saya merindukan perasaan hangat. Kami biasanya merasa hangat dan tidak mengeluh saat badai atau dingin. Tapi setelah rumah kami dibombardir, kami selalu kedinginan," kata Tawila.
Kini warga Gaza hanya bisa pasrah diterpa angin dingin dan kebasahan karena hujan sampai perbaikan dilakukan. Namun hingga enam bulan berlalu, perbaikan belum juga dilakukan.
Menurut Badan Pekerja dan Pemulihan PBB, UNRWA, dana untuk rekonstruksi Gaza hanya terkumpul dua persen dari total yang dibutuhkan sebesar US$5,4 miliar. Padahal, negara-negara pendonor telah menggelar konferensi di Kairo untuk mengumpulkan dana bagi Gaza.
"Situasi di Gaza sangat menyedihkan dan kian buruk dari waktu ke waktu. Kami hanya punya listrik untuk dua atau tiga jam, maksimal enam jam per hari," kata Adnan Abu Hasna, juru bicara UNRWA.
Akibat mati listrik, sistem pembuangan air di Gaza tidak berfungsi. Banjir juga terjadi di jalan-jalan Gaza, pemerintah setempat tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu warga yang membutuhkan.
Bagi negara Timur Tengah lainnya, hujan membawa kegembiraan dan perayaan pergantian musim. Tapi di Gaza, hujan menambah penderitaan dan tragedi kemanusiaan. Tanpa listrik dan pemanas, tanpa infrastruktur dan rekonstruksi, kehidupan warga Gaza akan kian nelangsa dibanding sebelumnya.