Jakarta, CNN Indonesia -- Ketiadaan produk hukum di Indonesia yang mengatur penyebaran ISIS membuat beberapa media di Indonesia leluasa melancarkan propaganda mendukung kelompok militan ini. Salah satunya adalah situs al-Mustaqbal yang telah mempublikasi ulang majalah-majalah jihadi.
Pemimpin redaksi al-Mustaqbal, M Fachri, mengaku tidak memiliki afiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah, ISIS, namun mereka hanya memberitakan soal kegiatan mujahidin di fron terdepan di wilayah yang berhasil dikuasai, termasuk di Afghanistan, Kashmir dan Filipina.
Mustaqbal telah menyebarkan empat edisi majalah secara
online setiap dua bulan sekali. Di situsnya, media ini terang-terangan mendukung ISIS dalam pemberitaannya. ISIS sendiri telah memiliki media resmi, yaitu Dabiq yang dikeluarkan oleh sayap propaganda mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa Mustaqbal pro-Daulah Islam, karena kami mengabarkan mujahid yang menguasai sebuah wilayah. Sekarang siapa yang paling menguasai wilayah paling signifikan dan terus meluas? Daulah Islam," kata Fachri yang menolak menyebut ISIS, tapi Daulah Islam, saat dihubungi CNN Indonesia, Jumat (20/3).
Fachri mengaku tidak memiliki afiliasi dengan media ISIS lainnya, seperti Dabiq yang diterbitkan oleh sayap media ISIS, al-Hayat.
"Tidak ada hubungan, hanya Muslimin yang mendukung mujahidin," kata Fachri.
Pemberitaan Mustaqbal mengambil dari akun Twitter pada mujahidin di Suriah. Sumber lainnya adalah mengambil dari media nasional maupun internasional yang memiliki berita sesuai dengan tema Mustaqbal.
Tidak langgar hukumFachri mengatakan bahwa medianya telah mematuhi kode etik jurnalistik, salah satunya tidak memajang video atau foto kekerasan di situs mereka. Secara hukum, menurut dia Mustaqbal juga tidak melanggar peraturan apapun.
"Saya yakin apa yang saya lakukan sesuai dengan hukum Islam, dakwah
amar ma'ruf nahi munkar. Secara hukum kami juga tidak melanggar apa pun, dan saya paham kode etik jurnalistik, tidak tertarik memajang video kekerasan yang tidak layak ditampilkan," ujar Fachri.
Pengamat terorisme Chaidar membenarkan bahwa belum ada produk hukum di Indonesia yang bisa membendung media promotor ISIS. Namun dia mengatakan, media tersebut sangat berbahaya bagi tumbuh suburnya pemikiran radikalisme di Indonesia.
"Ini berbahaya karena seseorang jadi teroris dari wacana," kata Chaidar.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva sebelumnya juga mengatakan, ketiadaan produk hukum untuk mencegah propaganda dan penyebaran paham ISIS akan membuat pemerintah kesulitan membendung kelompok ini. "Tanpa hukum khusus untuk soal ISIS, pemerintah pasti akan kesulitan mengambil tindakan," kata Zulfa.
Jika tidak bisa melalui jalur hukum, Chaidar mengimbau pemerintah untuk melawan pemikiran dengan pemikiran juga. "Pemerintah harus serius melakukan counter-wacana, misalnya melalui seminar atau buku-buku," ujar dia.
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT, Irfan Idris, mengatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menyaring konten radikal di internet, namun belum ada keputusan konkret.
"Sejauh ini baru ada koordinasi awal antara pihak pemerintah, antara BNPT dan Kemkominfo untuk menyaring konten radikal lewat internet. Kita sudah pernah undang Kominfo ke kantor lama. Tapi belum konkret, perlu ditindaklanjuti, masih dalam proses," ujar Irfan.