Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah, atau biasa disebut dengan ISIS kerap meluncurkan propagandanya melalui sejumlah majalah dengan berbagai bahasa. Namun, bukan hanya ISIS, kelompok militan yang lebih dulu beroperasi, Al-Qaidah juga menyebarkan propagandanya melalui majalah.
ISIS, yang merupakan pecahan Al-Qaidah dan didirikan dengan nama Daulah Islam Irak pada 2006, kemungkinan meniru pendahulunya dalam menyebarkan propaganda. Beberapa tahun sebelum ISIS berdiri, Al-Qaidah telah menerbitkan majalah Inspire pada Juni 2010.
Sementara, ISIS menerbitkan Dabiq untuk menyebarkan propagandanya sejak bulan Juli tahun lalu. Majalah berbahasa Inggris ini merupakan media online yang dapat dengan mudah diunduh oleh pengguna internet. Tercatat, sudah tujuh edisi Dabiq diterbitkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Taufik Andrei, pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, terdapat sejumlah perbedaan antara Dabiq dan Inspire.
Inspire kerap menuliskan sejumlah artikel yang menebarkan gagasan mereka, berserta dengan sejumlah tips yang praktikal bagi para pejuang asing, seperti cara merakit bom dari bahan-bahan sederhana dan cara mengindari drone.
Sementara majalah Dabiq kerap berisikan aktikel yang lebih persuasif dan provokatif. Melalui Dabiq, ISIS membeberkan pembenaran akan sejumlah eksekusi sadis yang mereka lakukan, seperti pembakaran pilot Yordania Muath al-Kassasbeh yang dibakar hidup-hidup, sesuai dengan hukum Qisash.
"Kalau dilihat dari kemasannya, Dabiq lebih vulgar, provokatif, dan berani memperlihatkan perjuangan ISIS. Lebih tegas menekankan identitas mereka sebagai wadah ISIS," kata Taufik ketika dihubungi CNN Indonesia, Jumat (20/3).
Berbagai BahasaMenurut Taufik, baik Inspire maupun Dabiq mempunyai sasaran pembaca secara global, bukan hanya negara-negara di kawasan Timur Tengah. Itulah mengapa mereka menerbitkan majalah propaganda dengan banyak bahasa.
"ISIS sepertinya mengharapkan mereka dapat sekuat Al-Qaidah di masa lalu yang punya banyak afiliasi di berbagai negara. Namun, kekuasaan ISIS lebih terpusat, tidak seperti Al-Qaidah yang punya banyak cabang di banyak negara," kata Taufik.
Sejumlah artikel Inspire telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan disebarkan di sejumlah situs radikal dalam negeri. Sementara ISIS menerbitkan Dabiq dalam bahasa Inggris, dan Dar al-Islam yang berbahasa Perancis.
Di Indonesia, majalah Dabiq juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya oleh situs Al-Mustaqbal yang memberitakan propaganda radikal dari luar negeri. Situs Al-Azzam juga meluncurkan propaganda ISIS dalam bahasa Melayu.
"Tujuannya diterjemahkan ke dalam bahasa melayu sederhana saja, untuk menarik simpati dan mendeskripsikan kinerja mereka selama ini, memberikan narasi yang menyulut semangat jihadis," kata Taufik.
Taufik menduga media ISIS berbahasa Melayu ini ditulis oleh orang Indonesia, bisa jadi yang berada di dalam negeri ataupun di Suriah dan Irak. Inisiatif ini disinyalir berasal dari pasar pembaca Indonesia yang luas, sebagai negara dengan umat Muslim terbesar di dunia.
Fenomena ini sebenarnya sudah jauh terjadi sebelum ISIS. Sebelum media Al-Azzam Taufik menilai bahwa beberapa karya pemikir ISIS sebelumnya diduga telah diterjemahkan dan disebarkan oleh Aman Abdurrahman, terpidana terorisme yang kini mendekam dalam Nusakambangan.
Untuk menahan berbagai gempuran propaganda radikal ini, Taufik menilai perlunya langkah deradikalisasi, khususnya dari sudut pandang ideologi.
"Harus ada perang wacana yang serius, bukan hanya dari pemerintah, tapi juga tokoh masyarakat dan semua orang, agar kelompok radikal bisa dibatasi dan dilawan. Di masjid lokal misalnya, perlu digiatkan, agar warga tidak menyakini propaganda ISIS," kata Taufik.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh pendiri Peneliti Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN) Wawan Purwanto, yang menyatakan bahwa sejumlah media propaganda dapat menjadi peringatan bagi pemerintah untuk memantau pergerakan radikal di Indonesia.
Pakar menilai ketiadaan produk hukum di Indonesia yang mengatur penyebaran ISIS membuat beberapa media di Indonesia leluasa melancarkan propaganda mendukung kelompok militan. Padahal, media propaganda sangat berbahaya bagi tumbuh suburnya pemikiran radikalisme di Indonesia.
(ama/stu)