Pengakuan Anggota ISIS dari Penjara Irak

Ike Agestu/CNN | CNN Indonesia
Selasa, 31 Mar 2015 10:31 WIB
Dari penjara di Baghdad, Sameem dan Khalel menceritakan keterlibatan mereka dalam berbagai aksi kekerasan yang dilakukan ISIS di Irak.
“Saya adalah orang yang menyiapkan rompi bunuh diri, dan memasangnya di tubuh orang-orang. Saya juga menyusun strategi terkait target dan operasi,” kata Khalil, pembuat bom ISIS. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sameem Sulaiman, seorang anggota ISIS yang saat ini berada di penjara Irak, menceritakan pengalamannya ketika bersama kelompok miltan Sunni tersebut.

Ia berjalan dengan kaki terseret, borgol yang biasanya melingkari tangannya dilepas saat ia diwawancarai oleh CNN.

Sulaiman mengaku ia tak pernah bertemu dengan pentolan ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, meski perjalanannya menuju ISIS juga merupakan akibat dari pengalamannya saat dipenjara di Kamp Bucca, pusat penahanan yang dioperasikan oleh Amerika Serikat di Irak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada pertengahan 2008, AS menangkap Sulaiman di Mosul, kota terbesar kedua di Irak. Ia bertanggung jawab atas pembayaran gaji kelompok militan Sunni Jaish al-Mujahedeen, yang merupakan satu dari banyaknya kelompok serupa yang melancarkan serangan mematikan kepada pasukan Amerika.

Sulaiman dibebaskan 1,5 tahun kemudian.

“Mereka tidak memiliki bukti untuk menahan saya,” ingatnya. “Saya kembali ke Mosul, dan situasi sudah berubah. Pasukan AS sudah ditarik. Jadi saya mulai bekerja di sektor konstruksi bersama saudara saya.”

Pada 2013, seperti juga mayoritas warga Mosul dan populasi Sunni Irak, Sulaiman merasa kecewa dan terasing, marah pada pemerintah Irak yang didominasi oleh Syiah yang menekan warga Sunni, dan banyaknya tentara Irak di Mosul.

Kembali ke jaringan militan

Suatu hari, tiba-tiba ia dikontak oleh seseorang yang ia temui di Kamp Bucca.

Temannya itu mencari orang untuk menemani Abu Abdul al-Bilawi, mantan anggota pasukan khusus Saddam Hussein, yang lalu bergabung dengan al-Qaidah di Irak.

Pria itu berkata, “Bilawi mengatakan, ‘Saya membutuhkan pertolongan darimu, saya keluar dari penjara beberapa waktu lalu dan sekarang bergabung dengan ISIS’,” kata Sulaiman.

Menurut Sulaiman, waktu itu ia tidak mengetahui bahwa Bilawi adalah salah satu komandan militer Baghdadi, anggota kabinet perang ISIS.

Bilawi dipercaya merupakan satu dari ratusan orang yang melarikan diri dari penjara Abu Ghraib setelah tempat itu diserang oleh ISIS pada Juli 2013.

“Ia mengatakan saya hanya membutuhkanmu untuk menyewakan rumah bagi saya, saya akan menikah, dan saya memerlukanmu untuk menjaga keluarga saya dan tinggal di rumah itu. Jika ada pencarian, rumah itu harus terdaftar atas namamu,” kata Sulaiman mengingat kata-kata Bilawi. “Saya katakan, tak masalah. Dan saya tak menanyakan secara spesifik apa yang ia lakukan.”

Sulaiman lalu menyewa rumah dua lantai dan memindahkan keluarga ke lantai bawah.

“Saya mengantarnya di seputar Mosul,” kata Sulaiman. “Ia selalu berada di dekat rompi bunuh diri dan membawa pistol. Namun meski di pos-pos pemeriksaan, ia tidak takut, ia tak peduli. Ia memiliki tatapan seorang otoritas. Di pos pemeriksaan, penjaga mengira ia adalah pejabat pasukan keamanan.”

Meski keduanya dekat, menurut Sulaiman, Bilawi tak terbuka padanya.

“Ia tidak akan mengizinkan saya melihat siapa yang ia temui. Kami mengkoordinasikan pertemuan-pertemuan lewat pesan singkat. Kami menganti kartu SIM dan telepon genggam tiap minggu,” ingat Sulaiman.

Recana militer besar

Hingga akhirnya, Sulaiman tahu bahwa sesuatu yang besar dan akan segera terjadi sedang direncanakan.
Saya adalah orang yang menyiapkan rompi bunuh diri, dan memasangnya di tubuh orang-orangKhalil, pembuat bom ISIS

“Saya tidak memiliki rincian spesifik, namun ia mengatakan pada saya jika ada operasi, jangan pergi.”

Empat hari sebelum ISIS menyerbu dan merebut Mosul, polisi Irak menyerbu rumah Sulaiman dan Bilawi, membunuh Bilawi. Polisi mengatakan ia sedang berusaha meraih rompi bunuh dirinya tepat saat polisi menembaknya.

Pejabat senior polisi Irak mengatakan pada CNN jika saja komandan keamanan Irak yang bertugas di Mosul memperhatikan dengan serius setiap informasi intelijen, Mosul tak akan jatuh ke tangan ISIS. Setidaknya, tidak dalam waktu yang sangat singkat.

Namun bukan hanya kegagalan intelijen yang membuat ISIS menang di Mosul.

Kekecewaan populasi Sunni Irak terhadap pemerintah yang didominasi oleh kaum Syiah tumbuh besar karena mengasingkan populasi Sunni.

Mengambil alih Mosul

Penyerbuan ISIS ke Mosul merupakan salah satu peristiwa paling memalukan bagi militer Irak. Saat itu, tentara Irak dan polisi menjatuhkan senjata mereka dan lari dari pos mereka.

Namun menurut pejabat AS, lebih dari 25 ribu pasukan Irak diperkirakan akan merebut kembali Mosul.

Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi juga mengatakan pada BBC pada Februari ia yakin bahwa pasukan Irak akan mengambil alih kota penting di utara Irak itu.

“Kami sekarang sedang merencanakan serangan ke Mosul dalam beberapa bulan ke depan. Kami sudah menyiapkannya dengan hati-hati, karena satu-satunya pilihan bagi kami di Irak adalah menang. Kami harus menang di Mosul untuk mengusir (ISIS),” kata dia.

Pembuat bom ISIS

Yang juga berada di dalam tahanan polisi adalah pemasok bahan peledak dan rompi bunuh diri ISIS yang berbasis di Baghdad.

Ammar Ali Khalil, yang mengenakan seragam kuning penjara, berbicara dengan tenang. Ia juga menceritakan soal keterlibatannya dalam aksi kekerasan ISIS.

"Dalam pikiran saya, untuk memiliki sebuah negara Islam, adalah jalan yang benar," kata Khalil, yang juga bertanggung jawab atas operasi khusus untuk emirat Baghdad.

Dia juga terlibat dalam pemberontakan melawan pasukan AS, tapi saat itu ia masih bersama dengan al-Qaidah. Saat al-Qaidah berevolusi menjadi ISIS, ia juga ikut berbaiat.

“Saya adalah orang yang menyiapkan rompi bunuh diri, dan memasangnya di tubuh orang-orang. Saya juga menyusun strategi terkait target dan operasi,” akunya.

Ia mengatakan mengatur secara pribadi dan mengirim 19 pelaku bom bunuh diri, di antaranya adalah warga Australia dan Jerman.

“Seorang komandan militer di emirat Baghdad akan mengontak saya jika seorang pelaku bom bunuh diri sudah siap. Saya akan menemui mereka di dekat Baghdad lalu membawa mereka ke rumah perlindungan atau langsung menuju target,” ujar Khalil.

Para pelaku bom bunuh diri itu membunuh puluhan orang, dan kebanyakan target ada di lingkungan Syiah.

Khalil, yang kemungkinan besar akan menerima hukuman mati, mengatakan ia menyesali aksinya.

Namun ia mengakui jika ia tak ditangkap, ia akan terus melanjutkan serangan. Saat ditangkap, ia sedang merencanakan membangun “pabrik” pembuat bom di jantung Irak, di mana polisi mengatakan mereka menemukan lebih dari selusin rompi bunuh diri dan 250 bom.

Meski begitu, ia tak mau menjawab saat ditanya mengenai tiga orang anaknya.

“Saya tak bisa berbicara soal anak-anak saya. Maaf,” ujarnya. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER