Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang tentara Rusia mengaku telah membunuh 15 orang tawanan perang dari Ukraina. Pengakuan yang direkam suaranya ini bisa menyeretnya ke pengadilan internasional atas kejahatan perang dan membuktikan keterlibatan Rusia dalam konflik di Ukraina.
Diberitakan The Guardian, pengakuan ini disampaikan sendiri oleh Arseniy Pavlov alias Motorola dalam percakapan telepon dengan seorang wartawan pada 3 April lalu.
Motorola, kepala kelompok militan pro-Rusia di Batalion Sparta saat itu ditanya soal keterlibatannya dalam pembunuhan Ihor Branovytsky, tentara Ukraina yang ditawan pada Januari lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Peduli setan atas tuduhan pada saya, percaya atau tidak. Saya menembak mati 15 tawanan.
No comment. Saya membunuh jika saya mau. Saya tidak membunuh jika tidak mau," kata Motorola.
Rekaman perkataan itu akan digunakan dalam penyelidikan penyiksaan dan pembunuhan Branovytsky oleh militan yang didukung Kremlin, kata Vasil Vovk, kepala penyidik badan keamanan Ukraina dalam pemakaman para tentara Ukraina.
Vovk mengatakan bahwa kasus itu akan dibawa ke Mahkamah Kriminal Internasional di Hague. Motorola akan menjadi tersangka dan diadili
in absentia. Pekan ini Amnesty Internasional mengaku punya bukti pasukan separatis yang didukung Rusia melakukan pembunuhan.
Motorola, 32, adalah warga Rusia yang sebelumnya berperang melawan pemberontak Islam di Chechnya. Batalion Sparta yang dipimpinnya adalah salah satu pasukan penting yang mendukung separatis Ukraina memperebutkan bandara Donetsk Januari lalu.
Selain pembunuhan, Motorola dan batalionnya dikenakan dakwaan penyiksaan tawanan perang, yang terlarang berdasarkan pasal 3 dari Konvensi HAM Eropa.
Penyiksaan ini diakui oleh Yury Sova, tentara brigade ke-80 Ukraina yang diserang Batalion Sparta. "Kami dipukuli selama enam atau tujuh jam," kata Sova.
Sova mengaku melihat penyiksaan yang dialami oleh Branovytsky. "Dia disiksa secara brutal, dan banyak tulangnya yang patah," ujar Sova lagi.
Konflik di Ukraina bermula pada demonstrasi menentang pemerintah yang pro-Rusia di ibukota Kiev pada 2014, membuat negara itu terpecah ke dua kubu; pro dan anti Kremlin.
Rusia membantah keterlibatan mereka dalam konflik tersebut. Namun pada Maret tahun lalu, Rusia mengumumkan pencaplokan Crimea dari Ukraina setelah referendum di wilayah itu.
Demo di Donetsk dan Luhansk berujung berkembangnya separatisme bersenjata, membuat Ukraina menurunkan pasukan mereka. Atas konflik ini, Barat menjatuhkan sanksi pada Rusia yang terlibat dalam konflik negara lain.
(den/stu)