Jakarta, CNN Indonesia -- Selama empat tahun Krikor menanti. Dua kali pecahan bom nyasar ke rumahnya di Aleppo dan dia membangunnya kembali.
Isterinya terkena pecahan peluru meriam di dada dan kakinya setelah sebuah bom menghancurkan rumah tetangga mereka. Namun, keluarga itu menolak pergi dari rumah mereka di pusat kota Armenia.
Lalu, dua minggu lalu, saat pihak oposisi meningkatkan serangan mereka pada rejim pemerintah di Aleppo, salah satu teman dekat beserta anak perempuannya, nyaris mati terkena bom.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berlari membawa mereka ke rumah sakit dan mengamati bagaimana keduanya berjuang susah payah tetap hidup. Tiga hari kemudian Krikor membawa isteri dan dua anak perempuannya keluar dari Lebanon dengan taksi.
"Hidup menjadi tak tertahankan," kata Krikor, sebagaimana dilansir dari Time, Sabtu (25/4).
Hal-hal berjalan buruk sementara waktu. Delapan bulan lalu menjadi sangat berbahaya baginya untuk pergi ke toko persediaan yang telah mendukung hidup keluarganya selama beberapa dekade.
Saudara-saudaranya telah diculik oleh para pemberontak dan dibunuh oleh penembak jitu di jalan.
Bukan karena dia tak memiliki US$ 400 untuk pergi ke Beirut, tetapi sebagai cucu dari pengungsi Armenia yang kabur dari rumah mereka 100 tahun lalu, dia dibesarkan lewat kisah pengungsian, pengucilan dan pembuangan yang tak pernah berakhir.
Pada 24 April setiap tahun, diaspora Armenia merayakan apa yang mereka sebut genosida terhadap rakyat mereka oleh pemimpin Turki di bawah kekuasaan Ottoman.
Sebanyak 1,5 juta warga Armenia dibunuh dan ratusan dikirim untuk eksekusi massal di gurun. Beberapa tiba di perbatasan Suriah mencari apa yang mereka pikir pengungsian sementara.
"Kakek saya kabur dari desanya. Hingga saat ini, seratus tahun kemudian, kami belum kembali lagi," kata Krikor. " Ini adalah satu hal yang membuat saya bertahan sangat lama di Suriah."
Bagi Krikor, sepertinya menyedihkan bahwa minggu ini dia merayakan peringatan 100 tahun upaya pengungsian kakeknya di tempat pembuangan kedua.
Keluarga besarnya telah tinggal hampir satu abad di Aleppo dan menganggap Suriah rumah mereka. Dia punya sebuah apartemen yang nyaman, toko dan puteri-puterinya bersekolah di tempat yang bagus.
Dia merupakan bagian dari komunitas Armenia yang kuat di Suriah.
Setelah Krikor tiba di Beirut, dia meminta keluarganya terbang ke Yerevan, ibukota dari Armenia yang moderen.
Lebih dari 15 ribu warga Armenia yang tinggal di Suriah telah pergi menuju Yerevan dengan harapan perlindungan pemerintah di sana. Tetapi, Krikor tidak mau pergi. Armenia masa kini tidak termasuk desa di mana kakek Krikor menetap.
Seperti kebanyakan diaspora Armenia, tanah moyangnya merupakan bagian masa kini Turki. Malahan, dia berpikir ingin kembali ke Aleppo. "Saya tidak ingin menyerahkan harta dan hidup saya," kata Krikor.
Karena dia berharap kembali, dia takut menggunakan nama aslinya, takut dia akan dijadikan target pemberontak oposisi. "Saya berharap kembali."
Sementara itu, Bedro Zeitounian juga kabur dari Aleppo tiga tahun lalu dan sekarang dia punya toko kecil di Bourj Hammoud di Beirut, yang dahulunya merupakan kamp pengungsian Armenia, sekarang padat dihuni mayoritas warga Armenia.
Di sini, dinding dicat dengan grafiti anti pemerintah Turki. "Pemerintah Turki bersalah atas genosida." Di dinding tersebut juga terdapat tulisan 'Turki Timur' yang dicoret dan ditindihi dengan tulisan 'Armenia Barat'.
Bagi Zeitounian, kekejaman melawan umat Kristen di Suriah dan Irak merupakan peninggalan kisah moyangnya. "Apa yang dilakukan pemberontak ini dan ISIS luar biasa. Kisah ini seperti memotong kepala, hanya kami dengar dari nenek dan kakek moyang," katanya. "Namun, sekarang kami melihatnya di depan mata."
Zeitounian juga ingin kembali ke Aleppo, meskipun tahu sedikit yang tertinggal dari hidupnya di sana.
"Warga Armenia ingin kembali ke Suriah. Kalau tidak, kami akan menolong para Turki untuk membuat Timur Tengah - Suriah, Irak dan Lebanon tanpa Armenia," kata Hagop Pakradounian, seorang anggota parlemen Lebanon dan kepala dari Federasi Revolusioner Armenia. "Kami tidak ingin itu terjadi."
Pada Maret 2013, pemberontak memenuhi kota Kassab di mana banyak warga Armenia menetap di Suriah. Mereka masuk melalui perbatasan Turki dan warga berbondong-bondong kabur. Mereka menyalahkan pemerintah Turki.
Mereka menilai pemerintah Turki membantu pusat jihad memasuki pedesaan Kristen. Secara garis besar, warga Armenia telah bersekutu dengan rejim Presiden Bashar al-Assad, melawan musuh bebuyutan mereka, Turki, yang tak ingin Assad memerintah. Suriah Armenia menjadi target atas penculikan, pemerasan dan pembunuhan.
Sekitar 40 ribu warga Armenia tetap tinggal di Aleppo, kebanyakan di wilayah yang dikuasai rejim.
"Sejarah kami selalu terisi dengan sejarah perang dan pengungsian," kata Pakradounian. "Berapa banyak dalam abad ini akan dipenuhi dengan imigrasi, pembuangan dan deportasi?" katanya.
(utd)