Jakarta, CNN Indonesia -- Hingga menit-menit terakhir sebelum dibawa ke Lapangan Tembak Limus Buntu, terpidana mati kasus narkoba asal Brasil, Rodrigo Muxfeldt Gularte, 42 tahun, tidak menyadari hidupnya akan berakhir di ujung senapan para regu tembak, Rabu (29/4) dini hari.
Pastor Charlie Burrows, pembimbing rohani yang menemani Gularte di saat-saat terakhir hidupnya, mengira Gularte telah siap menghadapi eksekusi. Namun ternyata, Gularte tetap tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Saya pikir dia siap, bahwa dia tahu dia akan dirantai, karena dia tidak suka disentuh... Saya berkata kepadanya, 'Saya sudah 72 tahun. Jadi ketika Anda sudah di surga, Anda tahu tempat tinggal saya selanjutnya'," kata Burrows, dikutip dari Reuters, Rabu (30/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendengar perkataan Burrows, Gularte nampak tenang ketika dia diborgol oleh sipir. Namun, Gularte nampak gelisah ketika dia diserahkan kepada polisi di luar penjara.
"Saya pikir dia tahu dia akan dieksekusi tapi... ketika dia mulai dirantai, dia berkata, 'Oh, Bapa, apakah saya akan dieksekusi?'," kata Burrows menceritakan kembali saat-saat terakhir Gularte.
Burrows mengungkapkan bahwa Gularte percaya kepada suara-suara yang berbisik kepada, yang terus menyatakan bahwa dia akan baik-baik saja.
"Dia lebih percaya kepada suara-suara di dalam kepalanya, ketimbang siapapun," katanya.
Dilaporkan Reuters, ketika Gularte dibawa untuk dieksekusi, Burrows bergabung dengan sejumlah pembimbing spiritual lain dan para anggota keluarga terpidana mati di sebuah tenda dekat ke Lapangan Tembak Limus Buntu.
Kepada media Australia, Sydney Morning Herald, Burrows menyatakan bahwa kedelapan terpidana mati menolak penutup mata saat akan dieksekusi. Tangan mereka diborgol di depan agar dapat bersalaman dengan para sipir.
"Mereka mungkin telah melihat regu tembak yang akan mengeksekusi mereka. Namun, regu tembak memakai baju yang sangat gelap, dan malam itu juga sangat gelap," kata Burrows melanjutkan.
Kala itu, mereka mendengar suara nyanyian dari para terpidana mati sebelum suara mereka hilang digantikan letusan senapan. Burrows mengungkapkan tidak ada bunyi letusan senapan setelah itu, menandakan bahwa seluruh terpidana langsung tewas tanpa perlu tembakan tambahan di kepala.
Pastor Burrows mengungkapkan ini merupakan pangalaman yang sulit baginya. Pasalnya, Gularte, didiagnosis menderita skizofrenia sejak remaja.
"Kami tidak berpikir bahwa (eksekusi) akan terjadi. Namun sekarang semua sudah dilakukan, sudah selesai," kata Burrows, dilansir dari Sydney Morning Herald.
Gularte yang menghabiskan masa kecilnya di lahan pertanian keluarga di Paraguay, ditangkap oleh petugas Bea dan Cukai Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta ketika memasuki Indonesia bersama dua rekannya, Fred Silva Magueta dan Emerson Viera Guemares pada 2004.
Mereka kedapatan membawa enam kilo gram kokain yang disembunyikan di dalam delapan papan selancar. Gularte kemudian dijatuhi hukuman mati pada 2005.
Sebelumnya, keluarga Gularte telah berupaya memberikan laporan dari beberapa dokter kepada pemerintah Indonesia untuk membuktikan penyakit skizofernia dan bipolar yang dia derita.
Presiden Brazil, Dilma Rousseff sendiri telah membuat permohonan pribadi untuk menghentikan eksekusi Gularte. Januari lalu, Brasil menarik duta besarnya dari Jakarta pasca eksekusi terpidana mati lain asal Brasil, Marco Archer Cardoso Moreira.
Gularte dieksekusi mati pada Rabu (29/4) pukul 00.35 di Lapangan Tembak Limus Buntu, Nusakambangan, bersama tujuh terpidana kasus narkoba lain.
Empat di antaranya berasal dari Nigeria, yaitu Jamiu Owolabi Abashin yang lebih dikenal sebagai Raheem Agbage Salami, Okwudili Oyatanze, Martin Anderson, dan Silvester Obiekwe Nwolise. Ada pula Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari Australia, serta Zainal Abidin dari Indonesia. (ama/stu)