Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar mengenai warga negara Indonesia yang diduga dieksekusi oleh kelompok radikal Negara Islam, ISIS, hingga kini masih belum jelas kebenarannya. Kabar tersebut pertama kali beredar luas setelah kantor media Daily Mail menyadur berita dari situs aktivis Suriah, Sound and Picture.
Baca: Kemlu RI Belum Bisa Konfirmasi soal WNI Sebar AIDS di ISISKementerian Luar Negeri RI mengaku telah mencoba mencari tahu kabar tersebut melalui penulis berita media Daily Mail. Namun, penulis itu ternyata tidak bisa memastikan kebenaran mengenai WNI yang dieksekusi oleh ISIS, melainkan hanya berdasar pada informasi dari aktivis di Suriah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka mendapat informasi dari aktivis
on the ground. Menurut mereka, aktivis tersebut tidak bisa memverifikasi identitas WNI dan kapan waktu eksekusi terjadi," ujar juru bicara Kemenlu RI, Arrmanatha Nasir.
Sementara itu, KBRI di Ankara dan Damaskus hingga kini juga belum bisa memverifikasi kebenaran berita ini.
Sebelumnya, ramai diberitakan bahwa seorang WNI yang bergabung dengan ISIS telah dieksekusi mati karena telah menyebarkan AIDS melalui transfusi darah.
Berita yang pertama kali muncul di situs yang diklaim dimiliki oleh para aktivis Suriah awal pekan ini, menyebutkan bahwa transfusi darah dari WNI tersebut telah menyebarkan AIDS ke seorang wanita Yazidi, yang kemudian menularkannya lagi ke anggota ISIS berkewarganegaraan Mesir melalui hubungan seksual.
Disebutkan juga bahwa warga Indonesia itu mengetahui keadaannya yang mengidap AIDS sejak sebelum berangkake Suriah. Dia datang ke Suriah tahun lalu dan telah dieksekusi mati karena dianggap telah melukai anggota ISIS lainnya.
Sejauh ini, Tata mengklaim jumlah WNI yang diduga pergi ke Irak atau Suriah dan bergabung dengan ISIS tidak memiliki angka pasti. Berdasarkan perhitungan dari Kepolisian RI, hingga saat ini diperkirakan 500-700 WNI telah pergi ke sana.
"Pihak keamanan terus berkoordinasi. Baik BIN, Polri dan TNI terus mengawasi dan mencegah orang-orang yang ingin keluar negeri untuk ikut kelompok-kelompok radikal," ujar Tata.
(stu)