Jakarta, CNN Indonesia -- Berbagai rincian mulai terkait pelaku penembakan di hotel tepi pantai di Tunisia pada akhir Juni lalu, Seifeddine Rezgui, mulai terungkap. Temuan baru mengungkapkan Rezgui disinyalir pernah bekerja di industri wisata.
"Kami tahu dia anggota dari klub tari dan akrab dengan sektor pariwisata, pernah bekerja di di sektor itu sebagai penyelenggara acara," kata Perdana Menteri Tunisia Habib Essid dalam wawancara dengan surat kabar Perancis, La Presse, Ahad (5/7).
(
Baca juga: Sektor Wisata Tunisia Kehilangan Rp6,6 Triliun Pasca Serangan)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rezgui merupakan pelaku penembakan yang meletus pada Jumat (26/6), mengakibatkan 28 wisatawan asing tewas. Ketika Melakukan aksinya, pria berumur 23 tahun itu menarik senapan Kalashnikov yang dia sembunyikan dari dalam payung.
Rezgui kemudian menembak dengan membabi buta ke arah wisatawan yang tengah berjemur menikmati indahnya pantai di luar sebuah hotel berbintang lima.
Serangan yang terjadi di Pelabuhan El Kantaoui, wilayah utara Sousse, menewaskan 30 warga Inggris, tiga warga negara Irlandia, dua orang Jerman, satu orang Belgia, Portugis serta Rusia.
Setelah melakukan penyerangan terhadap para turis, pelaku berhasil ditembak hingga tewas di lokasi kejadian oleh polisi setempat.
Pihak berwenang dan kerabat menjelaskan Rezgui adalah pria muda Tunisia yang biasa saja dan sedang tertarik pada
breakdance. (
Baca juga: Penembak Turis di Tunisia Sempat Berperilaku Aneh)
Salah seorang warga yang tinggal di dekat rumah orang tua Rezgui di kota Gaafour, mengatakan kepada AFP, bahwa Rezgui pernah bekerja dalam industri pariwisata di daerah Kantaoui, yang dekat dengan lokasi kejadian.
Sementara, kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan yang terjadi di pantai dan di sekitar kolam renang Hotel Riu Imperial Marhaba ini. ISIS mengklaim Rezgui sebagai anggotanya bernama Abu Yahya al-Qayrawani.
Pada Sabtu (4/7), delapan hari setelah insiden mematikan itu, Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi mengumumkan keadaan darurat. Ia menganggap serangan tersebut menjadikan Tunisia menghadapi "perang yang spesial."
(ama/ama)