Di Pelosok Kenya, Jadwal Sekolah Tergantung Musim Hujan

Reuters | CNN Indonesia
Kamis, 16 Jul 2015 01:45 WIB
"Warga di desa banyak yang mengira kalau musim panas dan hujan adalah akibat guna-guna praktek ilmu hitam," kata Kulmisha.
Ilustrasi. (REUTERS/Siegfried Modola)
Laisamis, CNN Indonesia -- Di umurnya yang ke-16 tahun, Nagirasa Lengima sudah menjadi ibu dari dua orang anak. Namun, mengurus keluarga bukanlah hambatan bagi Lengima untuk meraih ambisinya: sekolah.

Tidak seperti perempuan-perempuan desanya di Laisamis, Marsabit County, utara Kenya, Lengima seakan mendobrak semua batasan budaya dan alam, dengan bersekolah di Sekolah Mobil.

Dijalankan oleh sebuah organisasi kemanusiaan berbasis di Nairobi, Adeso, Sekolah Mobil--yang berbentuk seperti mobil karavan, menjadi wadah pembelajaran bagi para perempuan di desa-desa Kenya yang sulit terjangkau.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Matematika dan Bahasa Kiswahili adalah mata pelajaran kegemaran saya," kata Lengima. "Di masa depan, saya ingin terjun ke dunia bisnis," lanjutnya.

Tapi situasi sepertinya kurang mendukung hasrat Lengima. Belum sempat meraih cita-cita, tenaga pengajar di perkampungannya sudah banyak yang minggat akibat serangan dari kelompok militan Al-Shabaab.

Iklim yang tidak menentu juga kadang membuat para perempuan desa ikut keluarganya berpindah-pindah tempat untuk mencari daerah dengan pasokan makanan dan minuman yang aman.

Cuaca di Kenya memang sangat ekstrim. Musim panasnya mencapai suhu 30 derajat Celcius dan ketika musim hujan banjir langsung melanda.

Demi mengatasi masalah tersebut, Adeso lalu meluncurkan program Sekolah Mobil.

"Jadwal sekolah kami sangat bergantung dengan musim hujan," kata Saadia Maalim Mohamed, perwakilan Adeso.

Saat ini Sekolah Mobil menampung 300 perempuan berusia 13-18 tahun dari desa Laisamis. Beberapa Sekolah Mobil juga memberikan pelayanan di desa-desa yang lain.

"Sekolah baru bisa dimulai kala musim hujan, karena saat itu para perempuan sedang tidak sedang sibuk membantu keluarganya," ujar Mohamed.

Menurut data pemerintah Kenya, kawasan Marsabit County memang memiliki tingkat pendidikan yang paling rendah. Jumlah orang yang bisa membaca hanya 20 persen dan angka kemiskinannya mencapai 92 persen.

Kurang dari 15 persen perempuan yang melanjutkan pendidikan, selebihnya putus sekolah. Untuk melanjutkan kehidupan, para perempuan biasanya menikah di usia yang muda.

"Di perkampungan ini biasanya pria lebih tinggi pendidikannya. Mereka lebih diizinkan untuk bersekolah, sementara perempuan diminta untuk mengurus rumah tangga," kata Jonathan Kulmisha, aktivis sosial di Marsabit.

Kini mulai banyak perempuan yang mengikuti jejak Lengima, melanjutkan pendidikan dengan Sekolah Mobil.

Setiap hari Lengima bangun jam lima pagi untuk membereskan rumah sebelum pergi ke Sekolah Mobil. Lengima seakan menggunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya, karena ia tahu sebentar lagi musim panas datang dan ia harus pindah bersama keluarganya.

"Meski Sekolah Mobil akan berada di sekitar kami, tapi saat ini saya menggunakan waktu yang sebaik-baiknya. Saya tahu, guru-guru kami tidak akan selalu hadir ketika musim panas apalagi dengan banyaknya ancaman militan," kata Lengima.

Diluncurkan pada Februari 2014, Sekolah Mobil ini masih akan berlanjut hingga 2016, jika dana mencukupi.

Mohammed mengatakan, selain dana, cuaca dan pasukan militan, tantangan menjalankan Sekolah Mobil adalah mengatasi anggapan miring warga desa yang melihat perempuannya bersekolah.

"Warga di desa ini banyak yang mengira kalau musim panas dan hujan adalah akibat guna-guna praktek ilmu hitam. Setelah memberikan penjelasan lewat Sekolah Mobil, mereka mulai mengerti kalau cuaca ini akibat perubahan iklim," kata Kulmisha.

(ard/ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER