Presiden Sudan Selatan Tandatangani Kesepakatan Damai

CNN Indonesia
Kamis, 27 Agu 2015 03:42 WIB
Presiden Sudan Selatan menandatangani kesepakatan damai pada Rabu (26/8) untuk mengakhiri konflik 20 bulan dengan pemberontak.
Presiden Sudan Selatan Salva Kiir (kanan) berjabat tangan dengan Presiden Kenya Uhuru Kenyatta dan Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn (tengah) usai menandatangani kesepakatan damai pada Rabu (26/8) untuk mengakhiri konflik 20 bulan dengan pemberontak. (Reuters/Jok Solomun)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Sudan Selatan menandatangani kesepakatan damai pada Rabu (26/8) untuk mengakhiri konflik 20 bulan dengan pemberontak. Meski demikian, dia menyatakan kepada para pemimpin regional Afrika bahwa ia masih memiliki sejumlah keraguan yang serius.

Presiden Salva Kiir, yang telah memimpin Sudan Selatan sejak negara itu memisahkan diri dari Sudan pada 2011, pekan lalu meminta waktu untuk berkonsultasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena jika tidak kesepakatan tidak terjadi dalam tenggat waktu dua minggu, Sudan Selatan terancam dijatuhi sanksi oleh PBB.

"Dengan semua keraguan yang kami miliki, kami akan menandatangani dokumen ini," katanya kepada para pemimpin Afrika yang berkumpul di Juba sebelum menandatangani kesepakatan tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemimpin pemberontak Riek Machar, yang merupakan rival lama Kiir dan diharapkan menjadi Wakil Presiden pertama di bawah kesepakatan itu, telah menandatangani kesepakatan pada pekan lalu di ibukota Ethiopia.

Perang saudara di Sudan Selatan terjadi sejak Desember 2013 saat krisis politik menyebabkan perseteruan antara para pendukung Kiir dan pemberontak yang memihak mantan wakil presiden Riek Machar.

Konflik politik ini berujung pada perang antar etnis, antara suku Dinka pendukung Kiir dengan etnis Nuer yang merupakan loyalis Machar.

Diperkirakan sekitar 50 ribu orang tewas dalam konflik ini dan lebih dari 1,8 juta warga mengungsi.

Kesepakatan ini menyusul upaya negosiasi yang dipimpin oleh Ethiopia dan sempat tertunda serta diwarnai pelanggaran gencatan senjata selama berbulan-bulan.

Kelompok pemberontak pada Rabu (26/8) menyatakan bahwa terjadi pertarungan lain dengan pasukan pemerintah dan mereka berhasil merebut sebuah kota di selatan Juba, setelah pasukan mereka diserang.

Namun, dalam penandatanganan kesepakatan itu, Kiir menyatakan bahwa kelompok pemberontak meluncurkan serangan di sebelah utara negara tersebut sebelumnya.

"Sekarang Anda dapat melihat siapa yang ingin berdamai dan siapa yang ingin melanjutkan peperangan," katanya.

Kiir juga memberikan dokumen berisi sejumlah keraguannya kepada para pemimpin negara di wiyalah tersebut. Mediator menyatakan Kiir telah menyuarakan kekhawatiran tentang permintaan agar Juba menjadi zona demiliterisasi.

Kiir juga keberatan bahwa dia harus berkonsultasi dengan wakil presiden tentang kebijakannya.

Machar, yang merupakan wakil Kiir sebelum dia dipecat pada 2013, juga menyampaikan keraguan tentang aspek pembagian kekuasaan. Berdasarkan kesepakatan itu, dia diharapkan menjadi wakil Kiir kembali.

Susan Rice, penasihat keamanan nasional Presiden Barack Obama, menyatakan Amerika Serikat menyambut baik kesepakatan ini sebagai "langkah pertama" dalam mengakhiri konflik. Meski demikian, AS akan "bekerja keras" untuk memastikan perjanjian tersebut benar-benar diterapkan.

"Namun, kami tidak meragukan kesepakatan itu. Kami akan bekerja sama dengan mitra internasional kami untuk melawan pihak yang menghalangi jalan dami kami, menggunakan berbagai cara multilateral dan bilateral," kata Rice dalam sebuah pernyataan.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, John Kirby mengatakan bahwa jika Kiir mengingkari kesepakatan, Amerika Serikat akan mendukung sanksi PBB, meskipun tidak memberikan rincian.

Dewan Keamanan PBB sebelumnya mempertimbangkan sebuah rancangan resolusi dari Amerika Serikat yang akan memberlakukan embargo senjata di Sudan Selatan jika pemerintah negara itu yang tidak menandatangani kesepakatan damai.

Kesepakatan damai ini disambut baik oleh Presiden Uganda Yoweri Museveni dan Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn, Presiden Kenya Uhuru Kenyatta.

Mereka menyatakan bahagia atas perjanjian yang akan memberikan dampak baik bagi wilayah tersebut dan menyatakan bahwa pemimpin Sudan Selatan kini harus berfokus pada masa depan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER