Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang petugas penjaga parlemen Ukraina tewas sementara setidaknya 90 orang lainnya terluka dalam bentrokan yang meletus antara para demonstran dan polisi pada Senin (31/9) setelah parlemen Ukraina mendukung pemberian otonomi daerah yang lebih luas kepada kelompok separatis di Ukraina Timur.
Dilaporkan Reuters, bentrokan terjadi setelah 265 anggota dewan mendukung RUU yang akan memberikan otonomi lebih kepada kelompok separatis di Donetsk dan Lugansk.
Banyak demonstran yang membawa spanduk dari partai nasionalis Svoboda dan melempari bom asap ke petugas penjaga yang dilengkapi dengan helm.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Dalam Negeri Ukraina, Arsen Avakov, menyalahkan Svoboda dalam cuitannya dengan mengatakan hampir 90 petugas penjaga terluka, empat di antaranya mengalami luka serius pada mata, perut, leher dan kaki, akibat terkenal peledak yang dilemparkan demonstran.
Avakov menyatakan sekitar 30 orang ditangkap, termasuk seorang pria yang diduga melempar granat.
Petugas penjaga nasional yang tewas berusia 25 tahun dan baru bertugas sejak musim semi. Avakov menyatakan dia tewas akibat luka yang disebabkan dari serpihan granat.
Sementara, hasil pemungutan suara parlemen menunjukkan 265 suara mendukung RUU yang akan memberikan otonomi lebih kepada kelompok separatis. Jumlah suara ini melebihi jumlah suara yang disyaratkan untuk meloloskan RUU, yaitu 226 suara.
Hasil pemungutan suara menuai kecaman dari para anggota parlemen yang menentang RUU. Mereka berteriak "memalukan!" sambil memukul-mukul meja.
Para penentang RUU ini mendukung pemberian hak pengelolaan tertentu bagi kelompok separatis di Donetsk dan Luhansk. Mereka menilai Rusia turut berperan dalam hasi pemungutan suara ini, yang diperkirakan akan berujung pada lepasnya kendali Ukraina di wilayah timur.
Para penentang RUU menyatakan mereka keberatan dengan dengan RUU yang membolehkan otonomi terpisah dari pemerintahan lokal, dan mengkhawatirkan kelompok separatis akan membentuk pengadilan dan militer mereka sendiri serta menciptakan hubungan khusus dengan Rusia.
Pasalnya, RUU tersebut akan memungkinkan bahasa Rusia menjadi bahasa yang digunakan di daerah tersebut. RUU ini juga memberikan amnesti kepada anggota separatis yang sebelumnya ikut ambil bagian dalam pertempuran melawan pasukan Ukraina.
Pemungutan suara ini merupakan upaya untuk menerapkan kesepakatan Minsk, yang mensyaratkan penyetujuan undang-undang status khusus untuk wilayah Donetsk dan Lugansk yang sebagian besar dikendalikan oleh kelompok separatis.
Meskipun kesepakatan itu menghasilkan gencatan senjata, tetapi pertempuran dan penembakan sporadis antara pasukan pemerintah dan pemberontak masih terus terjadi.
Negara-negara Barat melihat kesepakatan ini sebagai upaya terbaik menuju perdamaian dan mendesak Ukraina untuk mematuhi perjanjian.
Perbedaan pendapat di parlemen dan aksi demonstrasi berujung ricuh di luar gedung parlemen menunjukkan bahwa Presiden Ukraina, Petro Poroshenko akan memiliki tugas berat untuk menerapkan perjanjian Minsk, dan berpotensi menimbulkan gejolak yang lebih besar di wilayah timur sebelum pergantian tahun.
Kesepakatan Minsk juga mensyaratkan pemilihan umum daerah, sementara
Ukraina seharusnya telah kembali menguasai perbatasan dengan Rusia.
Pertempuran antara Ukraina dengan kelompok separatis telah menewaskan lebih dari 6.500 orang sejak dimulai pada April 2014.
Negara-negara Barat menuduh Rusia mendukung kelompok pemberontak dan menjatuhkan sanksi terhadap Moskow, memperparah krisis ekonomi yang disebabkan oleh kelalaian dalam reformasi ekonomi dan harga minyak rendah.
Penasihat Kremlin, Yuri Ushakov menyatakan bahwa menteri luar negeri Rusia, Ukraina, Jerman dan Perancis akan bertemu pada pertengahan September mendatang untuk membahas konflik di Ukraina timur. Meski demikian, tempat pertemuan belum ditentukan.
(ama/ama)