Kisah Hyuk Kim, Penyintas dari Korut, Calon Doktor di Korsel

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Kamis, 17 Sep 2015 11:47 WIB
Hyuk Kim, penyintas dari Korea Utara yang kini tengah mencoba menata kehidupan bebas sembari melanjutkan studi program doktor di Korea Selatan.
Hyuk Kim, penyintas dari Korea Utara yang kini tengah mencoba menata kehidupan bebas sembari melanjutkan studi program doktor di Korea Selatan. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika musibah kelaparan melanda Korea Utara tahun 1997, Hyuk Kim, seorang anak yatim piatu yang sudah jengah dengan keterasingan, mencoba peruntungan dengan menyeberangi Sungai Tumen untuk menuju tanah China demi mencari makanan.

Berbincang dengan CNN Indonesia pada Selasa (15/9), Kim menceritakan pengalamannya yang kerap kali harus berenang menuju China dengan diiringi dengan desing peluru dari tentara Korea Utara yang menjaga perbatasan.

"Umur 4 tahun, ibu meninggal. Umur 14 tahun ayah meninggal karena kelaparan. Saya sudah jadi pengemis di jalanan sejak 7 tahun, dan tahun 1995 masuk panti asuhan. Di panti, banyak yang meninggal karena kelaparan. Saya ingin hidup sejahtera," tutur Hyuk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa kali, bocah berusia 16 tahun ini berhasil menghindari desing peluru dan dingin air demi mendapatkan makanan di China.

Namun, keberuntungan tak selalu berpihak padanya. Hingga satu kali, ia tertangkap oleh tentara di perbatasan.

Palu pengadilan diketuk, jeruji besi mengungkung hidupnya selama tiga tahun.

Keadaan penuh siksaan dan ingatan tentang siaran televisi melalui jaringan bawah tanah membuat hasrat Hyuk untuk kembali melarikan diri dari Korea Utara justru kian liar di dalam penjara.

"Di penjara, saya jadi ingat semua tayangan televisi dulu. Di Korea Selatan semuanya berbeda dan lebih sejahtera. Setelah bebas, saya harus coba keluar lagi," katanya.

Juli 2000, Hyuk bebas. Kabur ke Korea Selatan adalah satu-satunya hal yang ada di pikirannya. Hyuk pun mengatur strategi untuk menyeberangi negeri.

"Di utara, Korut berbatasan dengan China dan Rusia. Cara paling populer adalah menyeberang ke perbatasan antara China dan Rusia. Saya harus berenang ke sana dan tidak boleh terlihat tentara," kata Hyuk.

Bersama satu anak laki-laki berusia 12 tahun, dua gadis, dan bocah tiga tahun, Hyuk menjalankan misinya.

"Tahun 1998, masih banyak penembakan. Kami berlima berhasil selamat. Ada beberapa orang lain yang tertembak, sebagian lain meninggal karena tidak tahan berenang," ucap Hyuk.

Setelah sampai daratan, perjuangan belum selesai. Mereka harus menerobos gurun pasir Mongolia yang hanya selebar 100 meter. Seorang anak laki-laki dalam rombongan tersebut tak kuat menahan panas dan akhirnya tewas.

"Kami terus lanjutkan perjalanan. Kalau ada niat, pasti bisa," kata Hyuk.

Niat kuat akhirnya membawa mereka ke hutan China. "Kami harus sembunyi di sana selama lima bulan karena China juga negara komunis. Jika kami tertangkap, kami akan dikembalikan ke Korut dan hukuman akan lebih kejam," tuturnya.

Di dalam hutan, Hyuk kembali menyusun rencana. "Saya harus cari negara ketiga," pikir Hyuk menyimpulkan.

Hyuk akhirnya memimpin rombongan kembali menapaki gurun menuju perbatasan Mongolia. Setelah 18 jam berjalan, mereka tiba di dataran kebebasan.

"Kami kelelahan dan tak berdaya. Kami hanya menunggu tertangkap polisi Mongolia, dibawa ke kantor polisi, dan ditanya mau ke mana, untuk apa, baru kami menyatakan mau ke Korsel," kenang Hyuk.

Korea Utara menjadi negara yang tertutup dengan doktrin kuat keluarga Kim Jong Un yang dituhankan warganya. (Reuters/KCNA)
Kepolisian Mongolia lantas menghubungi Kedutaan Besar Korea Selatan. Setelah mengurus beberapa dokumen, Hyuk dan ketiga teman seperjuangannya diterima sebagai pengungsi dan diterbangkan ke Korsel.

"Sesampainya di Korsel, serasa surga. Semua serba beda. Makanan banyak, orang tidak ada yang khawatir," ucap Hyuk dengan senyum.

Namun, tak lama senyum itu mengembang, langsung terhapus dengan bimbang. "Saya merasa berbeda dan terasing. Mungkin karena doktrin Keluarga Kim di Korut sangat kuat. Di Korsel tidak ada yang dituhankan," tutur Hyuk.

Kala itu, Hyuk yang berusia 19 tahun memutuskan untuk tidak bekerja. Ia ingin melanjutkan studi terlebih dahulu.

"Kalau tidak bisa berbaur, bagaimana saya bisa hidup?" katanya.

Dengan bantuan pemerintah Korsel, Hyuk menempuh pendidikan untuk persiapan hidup bebas. Setelah siap mental, Hyuk mulai bekerja paruh waktu sambil kuliah.

Setelah hidup merdeka, pikirannya tetap tertuju pada Korea Utara. "Saya harus bisa perjuangkan HAM di Korut," kata Kim.

Sejarah Korea pun ia pilih sebagai studi gelar S1. Tak cukup sampai di sana, ia melanjutkan kuliah S2 dan S3 dalam bidang politik Korea Utara.

Di waktu senggang, Hyuk menulis buku dan membuat cerita animasi tentang kehidupan di Korut. Namun, masih ada satu hal yang masih terus ia pelajari agar dapat menggemakan masalah HAM di Korut ke seantero dunia.

"Saya belum lancar bahasa Inggris," katanya.

Tekadnya tidak pupus. Hyuk belajar terus menerus.

"Di dalam hati saya dan semua orang Korea, mereka ingin Korea bersatu lagi. Rakyat memang ingin bersatu. Hanya segelintir orang di pemerintahan yang memiliki ego sehingga Korea tak bisa bersatu," katanya. (ama/ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER